
Bursa saham Amerika Serikat
Jakarta- Depresi Besar di Amerika Serikat, yang dimulai pada Oktober 1929, tetap menjadi salah satu peristiwa ekonomi paling dahsyat dalam sejarah modern, dan hingga kini pertanyaan tentang penyebabnya masih memicu perdebatan sengit. Salah satu faktor yang sering disebut adalah kebijakan tarif, terutama Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley tahun 1930, yang menaikkan pajak impor secara drastis. Di tengah diskusi ini, banyak yang penasaran dengan konsep ekonomi modern seperti apa itu forex, yaitu perdagangan mata uang asing yang kini menjadi bagian penting dari pasar global, namun sama sekali tidak ada pada era itu. Pada April 2025, dengan ekonomi dunia yang masih belajar dari masa lalu, kita bisa menyelami apakah tarif benar-benar menjadi biang keladi Depresi Besar atau sekadar bagian dari cerita yang lebih rumit.
Sebelum menyelam lebih dalam, mari kita pahami apa yang terjadi. Pada 29 Oktober 1929, pasar saham AS runtuh dalam peristiwa yang dikenal sebagai Black Tuesday, menandai awal Depresi Besar. Jutaan orang kehilangan pekerjaan, bank-bank kolaps, dan produksi industri anjlok. Beberapa bulan setelahnya, pada Juni 1930, Presiden Herbert Hoover menandatangani Undang-Undang Smoot-Hawley, yang menaikkan tarif pada lebih dari 20.000 barang impor hingga rata-rata 40%. Tujuannya mulia: melindungi petani dan industri AS dari persaingan asing. Namun, dampaknya justru memicu reaksi berantai yang memperburuk situasi ekonomi global.
Para pendukung teori bahwa tarif menyebabkan Depresi Besar berargumen bahwa Smoot-Hawley menghancurkan perdagangan internasional. Pada 1929, ekspor AS bernilai sekitar 5,2 miliar dolar, tetapi setelah tarif diberlakukan, angka itu turun drastis menjadi 1,6 miliar dolar pada 1933. Negara-negara seperti Kanada dan Eropa membalas dengan tarif mereka sendiri, memukul ekspor AS lebih keras lagi. Misalnya, ekspor pertanian AS, yang sangat bergantung pada pasar global, merosot tajam, meninggalkan petani dalam kemiskinan. Data menunjukkan perdagangan dunia menyusut hingga 66% antara 1929 dan 1934, dan banyak yang menyalahkan perang tarif ini sebagai katalis utama.
Namun, tidak semua setuju bahwa tarif adalah penyebab utama. Para ekonom seperti Milton Friedman berpendapat bahwa kebijakan moneter yang buruk dari Federal Reserve jauh lebih bertanggung jawab. Menurut mereka, Fed gagal menyediakan likuiditas saat bank-bank mulai runtuh, menyebabkan pengetatan kredit yang mematikan bisnis dan konsumen. Pada 1930, lebih dari 1.300 bank bangkrut di AS, dan jumlah itu melonjak menjadi 4.000 pada 1933. Penurunan pasokan uang sebesar 30% antara 1929 dan 1933 memperparah deflasi, membuat utang semakin sulit dilunasi. Dalam pandangan ini, Smoot-Hawley hanyalah paku tambahan di peti mati, bukan pelatuk utama.
Waktu juga menjadi faktor penting dalam debat ini. Pasar saham jatuh pada 1929, sementara Smoot-Hawley baru disahkan pada 1930. Artinya, Depresi sudah berlangsung sebelum tarif diberlakukan. Indeks produksi industri AS turun 15% pada akhir 1929, jauh sebelum dampak tarif terasa. Beberapa ahli berpendapat bahwa kejatuhan awal ini dipicu oleh gelembung spekulasi di pasar saham, ditambah dengan ketidakstabilan ekonomi pasca-Perang Dunia I. Tarif mungkin memperburuk situasi, tetapi tidak memulainya—seperti bensin yang dituangkan ke api yang sudah menyala.
Faktor global juga tak bisa diabaikan. Eropa masih bergulat dengan utang perang dan reparasi, sementara ekonomi dunia sudah rapuh sebelum Smoot-Hawley. Ketika AS menaikkan tarif, negara-negara lain tak punya cukup daya beli untuk menyerap barang AS, tetapi masalah ini sudah ada sebelumnya. Data dari Biro Analisis Ekonomi AS menunjukkan bahwa PDB riil turun 8,5% pada 1930—sebagian besar sebelum tarif berlaku penuh. Jadi, meskipun perang tarif memperparah kontraksi, akar masalahnya lebih dalam, mulai dari ketimpangan pendapatan hingga kelebihan produksi di sektor pertanian dan manufaktur.
Lalu, apa pelajaran dari semua ini? Tarif memang punya konsekuensi nyata—mengganggu aliran perdagangan dan memicu balasan dari mitra dagang. Tetapi menjadikannya satu-satunya penutup Depresi Besar terlalu menyederhanakan cerita. Sebuah studi pada 2024 oleh ekonom di Universitas Chicago memperkirakan bahwa Smoot-Hawley hanya menyumbang sekitar 2-3% dari penurunan PDB AS selama Depresi, jauh di bawah dampak kebijakan moneter atau kehancuran sistem perbankan. Ini menunjukkan bahwa meskipun tarif berperan, mereka hanyalah satu bagian dari teka-teki yang lebih besar.
Pada akhirnya, Depresi Besar adalah badai sempurna dari banyak kegagalan—kebijakan, pasar, dan respons pemerintah. Tarif Smoot-Hawley memperburuk keadaan, tapi tidak menciptakan krisis dari nol. Bagi kita di tahun 2025, ini adalah pengingat bahwa perdagangan global saling terkait, dan tindakan proteksionis bisa menjadi pedang bermata dua. Mungkin lebih bijak untuk melihat masa lalu ini sebagai cermin, bukan peta, saat kita menghadapi tantangan ekonomi modern dengan alat dan pemahaman yang lebih baik.
KEYWORD :