Kamis, 26/12/2024 18:37 WIB

Capt. Entin Kartini Tokoh Inspiratif Maritim 2019

Pemberian penghargaan dilakukan oleh Dirjen Perhubungan Laut, R. Agus H. Purnomo di Pelabuhan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (20/9/2019).

Capt. Entin Kartini (kanan) saat menerima piagam penghargaan sebagai Tokoh Inspiratif 2019 dari Dirjen Perhubungan Laut R. Agus H. Suparno yang didampingi oleh Ketua Umum Women In Maritim Indonesia Chandra Motik.

Jakarta, Jurnas.com – Organisasi perempuan maritim Indonesia atau Women in Maritime (Wima Ina) memberikan penghargaan kepada Dr. Capt. Entin Kartini, MM., sebagai tokoh wanita yang paling inspiratif maritim 2019. Dia dinilai memiliki kontribusi besar dalam dunia maritim, serta mampu menginspirasi banyak orang, khusunya kaum perempuan untuk berkiprah di sektor maritim.

Pemberian penghargaan dilakukan oleh Dirjen Perhubungan Laut, R. Agus H. Purnomo di Pelabuhan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (20/9/2019). Didampingi oleh Ketua Umum Wima Indonesia Dr. Chandra Motik.

Pemberian penghargaan tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Hari Maritim Sedunia (world maritime day) yang rutin diperingati setiap tanggal 26 September setiap tahunnya.

Tahun ini, World Maritime Day yang dirayakan setiap tahunnya oleh para negara anggota International Maritime Organization (IMO), termasuk Indonesia sebagai anggota Dewan IMO Kategori C tentunya merupakan wujud apresiasi dunia terhadap sektor maritim yang memegang peranan penting dalam berbagai aspek, sebut saja transportasi, perekonomian dan juga sumber daya alamnya.

Adapun pada tahun ini, World Maritime Day mengangkat tema "Empowering Women in the Maritime Community" (Peran Perempuan Dalam Komunitas Maritim).

 

Nakhoda Wanita Pertama

Capt. Entin Kartini lahir di Sumedang 25 Desember 1946 tercatat dalam sejarah sebagai nakhoda wanita pertama di Indonesia. Ia berhasil meniti karier sampai jenjang tertinggi bagi perwira deck, yaitu nakhoda atau kapten kapal.

Kiprahnya sebagai nakhoda kapal wanita mampu menginspirasi orang lain untuk mengikutinya.

Entin, begitu biasa dipanggil, adalah salah satu putri terbaik Indonesia lulusan Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) Jakarta yang sekarang telah berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) tahun 1970 dan berhasil menyelesaikan pendidikan S3 Manajeman Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta.

Darma bakti Entin di bidang maritim tidak terbatas hanya di saat usia produktif saja. Di usia yang sudah tidak muda lagi seperti sekarang, dia tetap aktif sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, Akademi Maritim Djadayat, ITL Trisakti, dan di beberapa tempat mengajar short course untuk pelaut. Bahkan sesekali masih diminta PT Pelni untuk membawa kapal, meski hanya sebatas di dalam negeri.

 

Menepis Prasangka Negatif

Tak mudah mengubah pandangan orang terhadap perempuan yang meniti karier di bidang yang biasanya sangat “lelaki”. Anggapan miring pun kerap muncul, mulai dari menabrak kodrat, mengancam kelanggengan keluarga, dan berbulan-bulan bergelut dengan awak kapal yang hampir bahkan semuanya adalah kaum Adam. Kalau meminjam istilah pelayaran, lelaki selalu di haluan, perempuan berkecenderungan di buritan.

Namun Entin memecah mitos itu. Perempuan juga bisa di haluan, maju meninggalkan buritan. Kendati tak menampik anggapan umum masyarakat, ibu tiga orang anak yang sudah menjadi nakhoda puluhan tahun itu tak terlalu mempersoalkannya.

Kerja sebagai nakhoda pun ia lakoni. Meski sempat terhambat, karena menikah dan kemudian mengandung, itu tak membuatnya berhenti berharap.

Menjadi nakhoda mulanya bukan cita-cita Entin. Ia ingin menjadi seorang dokter.

“Tapi cita-cita itu harus pupus karena gaji ayah sebagai anggota TNI AD berpangkat Letnan ketika itu tidak cukup. Akhirnya ‘nyemplunglah’ saya ke AIP tahun 1965,” kata Entin.

Alasan Entin masuk AIP ketik itu sungguh sederhana yaitu mencari sekolah yang sekakigus ada ikatan dinas, sehingga tidak membenani keuangan keluarga. “Kebetulan waktu itu ada pengumuman di majalah Aneka Amerika pembukaan sekolah dan ikatan dinas di AIP,” ujarnya.

Kebetulan juga tahun itu AIP baru pertama kali membuka program studi nautika untuk perempuan. Sehingga Entin menjadi taruna perempuan pertama di program studi nautika.

Tak serta merta selesai pendidikan lalu didapuk sebagai nakhoda. Itu baru fase lulus tahap MPB (Mualim Pelayaran Besar) IV. Perjalanannya untuk menjadi seorang nakhoda Entin harus dua tahun berlayar untuk mendapatkan sertifikat MPB II. Nah, baru dibilang seorang nakhoda jika sudah melewati dua tahun pelayaran dan memeroleh MPB I atau setingkat strata 2. Sebelumnya, usai lulus kuliah, Entin juga wajib mengikuti Program Lauat (Prola) selama 2 tahun sebelum dia benar-benar diterima di dunia kerja, di kapal.

Pertama kali ditugaskan bekerja di kapal setelah selesai Prola, Entin naik di kapal KM Tampomas 1 tahun 1971. Meskipun sesuai pendidikannya ia sebagai perwira kapal, tapi Entin merayap dari bawah, yaitu mualim IV yang bertugas dibidang navigasi, alat-alat keselamatan pelayaran, dan mengawasi bongkar muat barang. Di kapal Tampomas 1 ini Entin menjadi mualim termuda. Lebih khusus lagi, mualim perempuan termuda.

 Jabatan itu dia lakoni hingga tahun 1972. Beruntung selama kurun waktu bekeja di KM Tampomas 1 ia berkesempatan mengantar jamaah haji Indonesia, sehingga dia pun berkesempatan melaksanakan rukun Islam yang kelima itu.

“Selesai angkut calon jamaah haji dari tanah air ke Jedah, KM Tampomas 1 sandar di Ethopia untuk menunggu prosesi ibadah haji dan kembali mengangkut jamaah haji ke Indonesia. Sehingga sambil menunggu saya bisa turut melaksanakan ibadah haji,” tutur Entin.

Di KM Tampomas 1 inilah jiwa pelaut Entin benar-benar digembleng. Dia mendapat kapten kapal yang sangat baik dan tegas, Capt. Marto Pranoto. “Boleh dikatakan dialah yang membuat saya seperti sekarang ini. Dia nakhoda yang sangat keras dan tegas, tapi baik,” kenangnya.

Tak hanya mampu membuang sauh di kepulauan Nusantara, Entin juga pernah dipercayakan membawa kapal penumpang kesepuluh yang dipesan pemerintah Indonesia dari galangan kapal L Meyer, Papenburg, Jerman.  Adalah Direktur Jenderal Perhubungan Laut Fanny Habibie, kakak BJ Habibie, yang menantang Entin untuk membawa kapal tersebut, yakni KM Awu dari Jerman ke Indonesia.

“Meskipun waktu itu, sekitar tahun 1989, saya masih berpangkat mualim, tetapi saya mengiyakan tantangan Pak Habibie. Itu kesempatan emas untuk membuktikan bahwa saya mampu membawa kapal penumpang besar,” katanya.

 

Tercantik di Atas Kapal

Bagi Entin, cantik sendiri di kapal di tengah samudera bisa jadi kebanggaan sekaligus kejatuhan. Dalam pengalamannya para awak pria banyak yang merayu dan memanjakan. Tapi Entin selalu berlaku profesional, selagi tidak mudah dipermainkan, mereka pun tak berani berbuat macam-macam. Beruntung juga dia masuk ke kapal langsung sebagai perwira.

“Sehingga ABK tidak ada yang berani berbuat macam-macam,” katanya.

Sikap profesionalisme Entin justeru mampu membuat kru kapal merasa senasib sepenanggungan. Bahkan cenderung melindungi dirinya yang perempuan satu-satunya di atas kapal. “Jadi sikap profesional itu penting bagi pelaut perempuan. Jangan tergoda rayuan yang selama ini memang menjadi momok bagi  perempuan yang bekerja di atas kapal,” tegas Entin.

Sikap profesional juga penting untuk menumbuhkan kepercayaan keluarga, termasuk suami. “Saya sangat beruntung memiliki  suami yang pengertian. Tapi biasanya faktor keluarga dan suami sering membuat perempuan pelaut terhenti langkahnya di tengah jalan,” katanya.

Sudah puluhan kapal yang Entin naiki, bahkan sempat membawa kapal melewati daerah rawan di perairan Philipina yang dikuasai oleh Abu Sayaf, sekitar tahun 80-an . Dan khirnya menjadi nakhoda di KM Awu tahun 1990. Selesai di KM Awu tahun 1991, Entin lebih banyak diberi tugas oleh PT Pelni bekerja di darat. Meskipun demikian, sesekali masih menjadi pengganti nakhoda yang tidak bisa berlayar.

“Sekarang aktifitas saya lebih banyak mengajar. Membagikan pengetahuan dan pengalaman berlayar kepada taruna dan taruni beberapa kampus pelayaran,” tuturnya.

Entin berharap, dengan adanya Wima Indonesia, semakin banyak perempuan Indonesia yang berani meniti karier di laut. “Sebagai representasi organisasi maritim dunia, International Maritim Organization atau IMO, saya yakin Wima mampu menumbuhan kesadaran kepada banyak perempuan Indonesia bahwa bekerja di laut tidak seseram yang dibayangkan. Asalkan kita profesional dan fokus pada tujuan bekerja,” tutup Entin.

KEYWORD :

WIMA Indonesia Ditjen Perhubungan Laut Capt. Entin Kartini




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :