Jum'at, 27/12/2024 06:17 WIB

Opini

OTT KPK, Sertifikat Pulau D dan Para Penguasa Bayangan

Ongkos politik menjadi semakin mahal, karena masyarakat juga semakin transaksional. Mereka melihat momentum pilkada atau pileg sebagai ajang bernegosiasi dan memeras  para kandidat.

Gedung KPK RI (foto: Jurnas)

Oleh : Hersubeno Arief *

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan “Operasi Tangkap Tangan” (OTT) seorang kepala daerah. Kali ini yang ditangkap Walikota Tegal Siti Masitha Soeparno. Dari timing dan obyek penangkapan, kasus yang menimpa Bunda Sitha --begitu dia biasa dipanggil— sangat menarik.

Sitha perempuan kelahiran 1964 ini adalah seorang politisi Golkar, berparas cantik, menghabiskan sebagian masa kecil dan remajanya di luar negeri, lulusan sekolah perhotelan di AS dan Jerman, dan dari keluarga yang sangat terpandang. Eddy Soeparno Sekjen DPP PAN, adalah adik kandungnya. Sementara bapaknya (alm) Soeparno adalah mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia.

Jadi bila dilihat dari latar belakangnya, Sitha bukanlah perempuan sembarangan. Secara ekonomi, dia juga pasti tidak kekurangan. Sebelum menjadi walikota dia disebut pernah menjadi profesional di beberapa perusahaan. Kalau kemudian dia terjebak dalam kasus OTT, motifnya kemungkinan besar bukan karena rakus kekayaan. Ada sesuatu yang salah dengan demokrasi kita.

Dari sisi timing penangkapan, KPK saat ini secara internal dan eksternal sedang menghadapi persoalan yang cukup berat dan pelik. DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK. Sementara dari internal, ternyata KPK juga tengah menghadapi friksi di kalangan para penyidiknya. Hal itu setidaknya terungkap dari pengakuan Direktur Penyidikan KPK Brigjen Pol Aris Budiman yang menyebut banyak terjadi penyimpangan dalam prosedur penyidikan.

Sebelum Sitha, KPK juga menangkap Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) Antonius Tonny Budiono. Anggota Pansus Angket KPK dari Fraksi Golkar Bambang Susatyo mencurigai berbagai penangkapan itu sebagai bagian dari pengalihan isu oleh KPK.

Dari profil dan latar belakangnya Sitha dan Antonius jelas memenuhi syarat layak berita. Di kalangan media,  figur semacam ini sangat sexy. Sitha masuk semua kriteria sebuah drama rich, famous and beauty. Antonius dia pejabat tinggi, gaya hidupnya sederhana, rajin dan aktif ke gereja, famous, important person, and contradiction. Menarik bukan? Mudah dibumbui dan digoreng media. Cocok untuk pengalihan, atau setidaknya penyeimbang isu.  

Kepala daerah akan habis

Penangkapan Sitha menambah panjang daftar kepala daerah yang ditangkap KPK. Berdasarkan catatan Depdagri,  sampai Agustus tahun lalu sebanyak 343 walikota/bupati yang terlibat kasus korupsi. Dengan Sitha setidaknya jumlahnya menjadi 344 orang (68%) dari total 504 walikota/bupati seluruh Indonesia. Sementara Gubernur sebanyak 19 orang ( 55.8%) dari total 34 gubernur. Jelas ini sebuah lampu tanda bahaya tingkat  tinggi telah menyala.

Banyaknya kepala daerah yang ditangkap KPK memicu kekhawatiran Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM. Direktur Pukat UGM Zainal Arifin Mochtar khawatir, lama-lama kepala dearah Indonesia akan habis. Zainal melihat faktor gaji  kepala daerah yang sangat kecil, mendorong mereka melakukan korupsi. Sebagai gambaran di luar berbagai tunjangan dan biaya operasional, maka gaji seorang walikota/bupati hanya sebesar  Rp 5-6 juta. Hanya sedikit di atas UMR DKI Jakarta. Zainal menyerukan perombakan skema gaji para kepala daerah.

Selain gaji yang terlalu kecil, banyaknya kepala derah yang ditangkap KPK mendorong kita untuk mengkaji  kembali biaya tinggi yang harus dikeluarkan kandidat pada pilkada, apalagi pilpres.

Seperti penjelasan KPK,  Sita diduga menerima dana illegal sebesar Rp 5.1 miliar sebagai persiapan pilkada. Jelas sudah untuk kasus Sitha bukan persoalan kemaruk harta, tapi lebih pada ongkos politik mahal yang harus dibayar seorang kandidat.

Mahalnya biaya politik untuk pilkada,  bisa mendorong seseorang yang berasal dari keluarga baik-baik, terdidik, secara ekonomi juga cukup baik, terjebak dalam tindak perilaku koruptif. Sistem politik kita yang mahal dan koruptif, bisa menjadikan orang baik menjadi buruk. Apalagi kalau dasarnya sudah buruk, dia akan menjadi lebih buruk lagi.

Sistem yang buruk dan koruptif inilah yang menjelaskan mengapa banyak aktivis, tokoh muda yang idealis, anati korupsi, karir politiknya sangat cemerlang, tiba-tiba layu sebelum berkembang dan harus berakhir di penjara. Sistem yang buruk, menghasilkan output yang buruk, sebaik apapun inputnya.

Berapa besar biaya yang diperlukan untuk Pilkada? Untuk kota seperti Tegal dengan jumlah pemilih sebanyak 200 ribu, maka seorang kandidat idealnya memerlukan dana antara Rp 10-12 miliar. Hitung-hitungannya secara gampang berdasarkan acquisition cost (biaya akusisi per suara)  Rp 100 ribu. Untuk memenangkan pemilihan,  seorang kandidat katakanlah harus mengamankan 50% suara dari total 200 ribu pemilih tadi, atau 100 ribu suara.

Semakin besar wilayahnya dan semakin sulit transportasinya, maka biaya acquisition cost-nya akan semakin besar. Untuk pilgub dan pilpres, jumlahnya tinggal dikalikan saja. Angkanya pasti sangat tidak masuk akal. Apalagi jika pendekatannya dari sisi jumlah dana yang dikeluarkan dan pendapatan yang akan diperoleh. KPK tinggal pasang jaring besar, semua kepala daerah  bakal  nyangkut.

Untuk pilpres, permainannya pasti lebih canggih. Jaring KPK tidak cukup kuat menahannya. Sampai sejauh ini belum ada presiden atau capres yang terjaring.

Untuk apa saja biaya yang sangat besar itu? Biaya terbesar pertama untuk mendapatkan tiket berupa dukungan dari partai,  “perahu politik.” Tawar menawarnya tergantung apakah  kader atau non kader. Kalau non kader, angkanya pasti lebih besar.

Setelah mendapatkan perahu, maka muncul biaya-biaya lain. Biaya sosialisasi, pembentukan simpul relawan, biaya pemasangan atribut, biaya kampanye,  biaya media, media sosial, biaya konsultan dan lembaga survei, biaya kampanye.

Setelah menang pun masih diperlukan biaya besar. Kalau lawan menggugat ke Mahkamah Konstitusi, maka siap-siap dana untuk pengacara, para saksi dan dalam beberapa kasus, biaya untuk menyuap hakim konstitusi, termasuk kalau perlu ketua MK. Biayanya tak kurang dari Rp 5 Miliar.

Ongkos politik menjadi semakin mahal, karena masyarakat juga semakin transaksional. Mereka melihat momentum pilkada atau pileg sebagai ajang bernegosiasi dan memeras  para kandidat. Mereka akan memilih kandidat mana yang menawarkan dana paling tinggi. Dalam bahasa politisi “visi-misi dikalahkan oleh gizi.”

Banyak kandidat untuk legislatif yang tidak berani kembali ke daerah pemilihan (Dapil) bila tidak punya dana yang cukup tebal di kantong. Mereka menghadapi pemilih yang mata duitan. Rusak mulai dari hulu sampai hilir.

Bayangkan dengan gaji seorang walikota/bupati sebesar Rp 5-6 juta/bulan. Selama 60 bulan atau lima tahun masa jabatan, angka yang terkumpul hanya sebesar Rp 300-360 juta. Kalaupun menggunakan data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) yang pernah melansir besaran total penghasilan walikota/bupati terbesar di Indonesia, maka untuk membiayai pilkada tidak akan cukup.

Walikota  Surabaya memiliki gaji tertinggi sebesar Rp 2007 juta/bulan. Sementara bupati yang tertinggi adalah Badung, Bali sebesar Rp 167 juta/bulan. Jumlah tersebut terdiri dari gaji pokok, tunjangan  jabatan, dana operasional dan prosentasi dari realisasi penerimaan pajak dan retribusi. Sebagian besar dana tersebut habis untuk operasional dan biaya politik,  menjaga loyalitas konstituen.

Sebagai pejabat politik,  mereka adalah tumpukan gula. Semut-semut akan berdatangan.

APBD dan investor politik

Besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan seorang kandidat,   membuat mereka harus memutar otak dan melakukan berbagai akrobat politik. Cara pertama yang bisa ditempuh adalah memainkan APBD.  Cara kedua kongkalikong dengan pengusaha yang bersedia menjadi investor politik.

Memainkan APBD adalah cara paling mudah, namun sangat rentan dan paling mudah dicokok oleh KPK. Anehnya modus ini yang paling banyak dimainkan oleh para kepala daerah.  Sudah bisa diduga, kasus model begini paling banyak ditangkap KPK.

Modus kedua bermain dengan para pengusaha dengan kompensasi berbagai perizinan maupun kompensasi eksploitasi sumber daya alam. Cara ini lebih canggih, halus dan relatif susah diendus oleh KPK. Kalau toh berhasil diendus,  kasusnya bisa mentah karena biasanya para cukong ini punya backing kekuasaan yang lebih kuat.

Kasus reklamasi Jakarta adalah salah satu bentuk permainan perizinan antara penguasa dan pengusaha. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari FPKB Daniel Johan pernah menghitung nilai komersial reklamasi Pantai Utara, Jakarta dan berapa keuntungan para pengusaha. Ada 17 pulau dengan total luas lahan 5.152 juta meter persegi, atau 5.152 hektar.

Dari 17 pulau tadi 13 diantaranya terletak di daerah elit Pantai Indah Kapuk, Pluit dan Ancol dengan luas  3.560 juta meter persegi atau 3.560 hektar. Harga jual rata-rata tanah di kawasan ini sekitar Rp 30 juta/meter persegi. Dengan aturan yang bisa dikomersialkan sebesar 55%, maka setidaknya dana yang akan masuk ke pengembang sebesar Rp 587 trilyun.

Berapa keuntungan yang diterima para pengembang? Daniel membandingkan biaya reklamasi di berbagai negara dan yang terbaru reklamasi Pantai Losari Makasar sebesar Rp 1.590 ribu/meter persegi. Dalam perhitungan Daniel dari 13 pulau saja para pengembang bisa mengantongi keuntungan Rp 516, 9 triliun!

Jadi kalau harus menyisihkan untuk biaya politik sebanyak 10% atau Rp 51 triliun, buat para pengusaha sangat kecil. Cemen! Namun untuk ongkos politik,  dana sebesar Rp 51 triliun sangat besar. Bisa untuk membiayai seluruh Pilgub, bahkan bisa digunakan untuk mendanai lima sampai enam kali pilpres!

Pembangunan kota Meikarta juga bisa  menggunakan modus serupa. Mereka coba mengulur waktu, sambil menunggu arah angin kekuasaan berubah. Pilkada Jabar 2018 bisa menjadi pintu masuk. Dengan dana besar yang dimiliki, mereka bisa ikut bermain menentukan penguasa. Nilai proyek Meikarta sebesar Rp 278 triliun. Bila untuk memenangkan Pilkada Jabar diperlukan biaya sebesar Rp 500-700 miliar, atau katakanlah sebesar Rp 1 triliun, itu hanya angka yang sangat kecil. Peanut!

Tujuan akhir Demokrasi  seharusnya berupa kesejahteraan rakyat. Namun yang terjadi rakyat hanya dijadikan alat legitimasi dan justifikasi. Demokrasi  langsung menjadikan masyarakat kita transaksional. Memilih pemimpin bukan berdasar pada kualitas pribadi dan visi misi yang mereka tawarkan. Rakyat  lebih memilih berapa besar uang yang dijanjikan. Demokrasi kita juga menjadi kuburan bagi birokrat dan politisi.  

Indonesia nampaknya tengah bermetamorfose dari negara dengan kapitalisme semu (ersatz capitalism), menjadi negara bayangan (the shadow state) atau lebih tepatnya penguasa bayangan (the shadow ruler).

Yushihara Kunio (1990) menyebut kapitalisme semu adalah pengusaha yang dibesarkan karena fasilitas, dukungan dan proteksi dari penguasa. Di Indonesia fenomena ini terjadi pada masa Orde Baru. Kini melalui pintu demokrasi, para pengusaha itu menjelma menjadi penguasa sesungguhnya.

Penguasa bayangan, sebagaimana dikatakan William Reno (1995) terjadi ketika negara tidak berdaya menghadapi kekuatan informal. Pada kasus Indonesia para pengusaha melalui kekayaannya, menentukan siapa yang akan berkuasa  dan apa yang harus mereka lakukan ketika berkuasa.

Selamat Hari Raya Iedul Adha 1438 H. Mohon maaf lahir dan batin. end

*Penulis adalah Analis Media dan Politik

KEYWORD :

Opini Hersubeno Arief




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :