Sabtu, 21/12/2024 19:37 WIB

Somasi pada Produsen Rokok Dianggap Preseden Buruk

Efek ketagihan juga terjadi pada produk konsumer lain seperti kopi, teh atau gula.

Ilustrasi rokok

Jakarta – PT Gudang Garam, Tbk dan PT Djarum disarankan untuk tidak melayani somasi yang dilayangkan oleh seorang perokok bernama Rohayani. Pasalnya, somasi tersebut akan menjadi preseden buruk bagi industri konsumer di Tanah Air seperti rokok, makanan dan minuman.

”Somasi itu aneh, karena hubungan dia dengan perusahaan rokok itu kan jual beli. Karena itu sebaiknya tidak perlu dilayani,” ujar pengamat sosial Suhardi di Jakarta Minggu (11/3/2018).
Suhardi beralasan, jika kedua produsen rokok itu sampai melayani somasi semacam itu, akan menjadi preseden buruk. Bukan mustahil, hal itu akan mendorong 90 juta perokok lain di Indonesia untuk melakukan hal yang sama.

”Dia (Rohayani) menuntut Rp 178 juta kepada Gudang Garam dan Rp 293 juta kepada Djarum, ditambah santunan Rp 1 triliun. Kalau dikabulkan, perokok lain akan berbondong-bondong melakukan hal serupa,” jelas dia.
Mantan direktur LP3ES ini menambahkan, setiap perokok memiliki kemerdekaan untuk menghentikan kebiasaan merokok, juga mengganti jenis dan merek dagang rokok yang dikonsumsi. Dengan begitu, hubungan antara perokok dan produsen sebatas hubungan dagang biasa. Tidak ada unsur paksaan.

”Jadi, keputusan sepenuhnya ada di tangan konsumen sendiri. Faktanya, banyak juga perokok yang memutuskan untuk berhenti atau tidak merokok lagi,” lanjutnya.
Sebagai peneliti yang pernah melakukan penelitian tentang konsumsi tembakau di Indonesia, Suhardi tak menepis fakta, tembakau yang ada di dalam rokok memang memberi efek ketagihan. Tetapi hal itu lumrah, karena efek ketagihan juga terjadi pada produk konsumer lain seperti kopi, teh atau gula.

”Kalau kemudian ada konsumen terkena diabetes, apakah wajar dia melayangkan somasi ke pabrik kopi atau pabrik gula?” jelasnya.
Karena itu, terkait penyakit yang diderita Rohayani, Suhardi menyarankan perlunya dilakukan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut. Hal itu penting untuk mengetahui secara pasti apa penyebab dia terpapar penyakit. Apalagi, menurut pengakuan Rohayani sendiri, ia menjadi pecandu rokok selama kurun waktu 1975 s.d. 2000.

Artinya, sudah 18 tahun yang lalu dia berhenti merokok. ”Jadi, jangan hanya berbekal pandangan subyektif lalu menyimpulkan sendiri bahwa kebiasaan merokoklah yang mengakibatkan dirinya sakit,” tegas Suhardi.
Seperti diwartakan, Rohayani – perempuan berusia 50 tahun – mengaku telah menjadi konsumen rokok dari dua merek dagang tersebut sejak 1975 hingga 2000. Merasa kecanduan dan membuat paru-parunya sakit, ia lalu mengirim somasi, menuntut ganti rugi kepada Gudang Garam sebesar Rp 178.074.000 dan Djarum sebesar Rp 293.068.000.

Angka tersebut adalah jumlah uang yang ia habiskan untuk membeli rokok. Selain itu, ia juga meminta santunan masing-masing senilai Rp 500 miliar kepada kedua produsen rokok.
Rohayani melayangkan somasi pada 19 Februari 2018, didampingi oleh pengacara kondang Todung Mulya Lubis dan Azas Tigor Nainggolan. Dalam somasinya, Rohayani mengancam, jika tuntutan yang mencapai Rp 1 triliun itu tidak dipenuhi, dirinya akan membawa kasus ini ke meja hijau.
Menurut Todung, somasi mendasarkan pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bunyinya: pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

KEYWORD :

rokok kecanduan rokok industri rokok




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :