Jum'at, 27/12/2024 09:54 WIB

Industri Diminta Laporkan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

Hal ini dinilai penting sebagai pemenuhan komitmen pengurangan emisi GRK Indonesia sebanyak 29 persen pada 2030 mendatang.

Polusi udara dari industri (foto: Google)

Jakarta - Pemerintah menyerukan pelaku industri untuk melaporkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam Sistem Registri Nasional (SRN) yang dikembangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Hal ini dinilai penting sebagai pemenuhan komitmen pengurangan emisi GRK Indonesia sebanyak 29 persen pada 2030 mendatang.

Direktur Inventarisasi GRK dan Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) KLHK Joko Prihatno, di Jakarta, Rabu (15/8/2018) menyatakan, pelaporan oleh industri akan membuat data pengurangan emisi GRK Indonesia akuntabel dan memenuhi prinsip jelas, transparan dan dapat dipahami (CTU) seperti diatur dalam traktat global pengendalian perubahan iklim Persetujuan Paris.

“Pelaporan oleh industri dan mereka yang memiliki sumber daya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim juga akan mencegah adanya penghitungan ganda pengurangan emisi GRK,” kata Joko pada Kamis (16/8).

Joko menuturkan, hasil inventarisasi menunjukkan Indonesia berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 8,7 persen pada 2016 dari target penurunan emisi sebesar 29 persen pada 2030 berdasarkan Business As Usual (BAU).

Pada 2016, BAU emisi GRK adalah sebesar 1.764,6 juta ton setara karbondioksida (CO2e). Namun aksi mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan Indonesia berhasil menahan pelepasan emisi GRK sehingga hanya sebanyak 1.514,9 juta ton CO2e.

Meski demikian, Joko menyatakan, ada perbedaan antara klaim dan penurunan emisi GRK yang telah diverifikasi. Perbedaan itu bisa dicegah jika seluruh aktivitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim termasuk yang dilakukan oleh industri sudah terlaporkan dalam SRN.

Hingga saat ini sudah ada 798 penanggung jawab aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang terdaftar di SRN dengan 264 diantaranya yang telah terverifikasi.

Joko menyatakan pihaknya sedang mengembangkan sistem sertifikasi hasil pengurangan emisi GRK, sehingga Industri punya peluang untuk mendapat insentif berbasis pasar seperti subsidi atau perdagangan emisi GRK.

Peluang tersebut juga seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

Sementara Kepala Pusat Litbang Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Kementerian Perindustrian Teddy C Sianturi menerangkan telah mengembangkan Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS), yang bisa menjadi wadah pelaporan aktivitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bagi pelaku industri.

Sistem informasi tersebut terintegrasi dengan layanan publik yang diberikan Kemenperin sehingga memberi kemudahan bagi pelaku industri.

“Sejak Agustus 2017 lalu telah dilakukan ujicoba pelaporan pengurangan emisi GRK  untuk jenis industri baja dan logam, pulp dan kertas, kimia, tekstil, pupuk, gula rafinasi dan semen,” ungkap Teddy.

Ditekankan oleh Direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad, industri pembangkit tenaga listrik merupakan salah satu yang potensial untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi GRK.

Dia mengakui, soal masih adanya pemanfaatan batubara sebagai sumber energi listrik. Namun, pemerintah mendorong agar pembangkit batubara memanfaatkan teknologi bersih sehingga emisi GRK yang dilepas bisa ditekan bahkan pihaknya tengah mempertimbangkan penerapan batas emisi GRK bagi pembangkit listrik.

“PLTU batubara memang masih mendominasi. Namun jika dibandingkan dengan Business as Usual, proyeksi emisi GRK dari sektor energi mengelami penurunan,” ujar Munir.

Sejumlah pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan yang berbasis tenaga surya, tenaga air, dan biomassa, kata Munir, akan terus didorong oleh pemerintah sebagai bagian dari pencapaian target pengurangan emisi GRK dari sektor energi sebesar 11 persen.

KEYWORD :

Efek Rumah Kaca Iklim KLHK




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :