Minggu, 24/11/2024 02:04 WIB

Penuhi Hak Anak, Cegah Intoleransi di Lembaga Pendidikan

Prinsip penyelenggaraan pendidikan berbasis nilai kultural dan kemajemukan dicederai sejumlah praktik yang mengarah pada sikap diskriminatif dan intoleran.

Ilustrasi sekolah (Foto: ctaagency)

Jakarta, Jurnas.com - Masih dalam rangkaian Hari Anak Nasional gerakan inisiatif masyarat yang tergabung dalam Narasi Indonesia Baru (NIB) bersama Gerakan Alumni UI untuk NKRI mendorong Pemerintah Republik Indonesia untuk sekuat tenaga berupaya memenuhi hak anak mendapatkan pendidikan yang layak.

Terkait dengan mutu pendidikan anak, Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara, dalam ajarannya antara lain menekankan, “Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia yang menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir.”

Sebagai bentuk penerapan dari ajaran tersebut, UU RI No 20 Th 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, Pasal 3 mengamanatkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Agar tujuan itu tercapai, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertanggung jawab menjamin terselenggaranya pendidikan yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (UU RI No 20 Th 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab III, Pasal 4, Ayat 1).

Akan tetapi, menurut Sutradara Nia Dinata yang concern pada masalah tersebut di tahun-tahun belakangan, prinsip penyelenggaraan pendidikan yang berpegang pada nilai kultural dan kemajemukan bangsa justru dicederai oleh sejumlah praktik yang mengarah pada sikap diskriminatif dan intoleran oleh pendidik terhadap peserta didik.

Kasus-kasus seperti: Aturan siswa dan siswi berbusana muslim di SD Negeri Karangtengah III Wonosari, SMP Negeri 8 Yogyakarta, atau SMP Negeri 3 Genteng, Banyuwangi yang mewajibkan seorang siswi non-muslim berpakaian muslim jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

"Kami melihat, praktik intoleransi dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari opini intoleran terhadap pemeluk agama lain," ujar Nia, di Jakarta, Kamis (25/7).

Survei tahun 2018 oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah terhadap 2.237 guru muslim di 34 provinsi menemukan bahwa enam dari sepuluh guru muslim memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain.

"Kami memandang kegiatan pendidikan yang mendiskriminasikan peserta didik berdasarkan latar belakang agama, suku, dan ras sangatlah mencederai Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Hal ini sangat memprihatinkan dan tentunya berbahaya karena intoleransi dapat menjadi faktor pemecah belah bangsa," paparnya.

KEYWORD :

Intoleransi Sekolah Hak Anak




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :