Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir (Foto: Muti/Jurnas.com)
Jakarta, Jurnas.com - “Saya terus terang saja tidak tahu akan jadi menteri,” kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir pada Sabtu (19/10) siang, mengawali pertemuan di rumah dinasnya yang beralamat di Jalan Widya Chandra IV, Jakarta Selatan.
Hening. Waktu menunjukkan pukul 13.15 WIB. Hanya tinggal beberapa jam ke depan, Nasir akan secara resmi mengakhiri masa tugasnya sebagai menteri. Namun dia enggan buru-buru menyebut ke mana tujuan selanjutnya dia akan berlabuh.
Nasir memilih menceritakan kisah dia ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menristekdikti. Kala itu, lima tahun lalu, ponselnya berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul. Padahal hari sudah larut. Panggilan pertama itu diabaikan, karena Nasir memutuskan untuk tidur.
Keesokan harinya, Nasir kembali diteror oleh nomor tak dikenal usai Salat Subuh. Ini panggilan kedua sejak semalam. Dia mulai bertanya-tanya bercampur rasa penasaran. Namun lagi-lagi Nasir enggan menjawab.
“Lalu saya ditelepon lagi keesokan harinya. Ketika saya angkat, ternyata yang menelepon ajudan presiden. Saya disuruh menghadap presiden jam 10 pagi,” tutur pria kelahiran 27 Juni 1960 itu.
Awalnya, Nasir tak lantas menyanggupi. Kepada sang penelepon, dia meminta agar pertemuan dengan presiden diundur sampai sore hari, dengan alasan bahwa dirinya sudah punya agenda padat seharian. Tapi, kala itu si penelepon misterius mendesak Nasir agar segera terbang ke Jakarta.
Nasir mengalah. Pagi itu dia berangkat ke Jakarta dengan tiket pesawat yang telah dipesan terlebih dahulu oleh pihak istana. Namun setibanya di istana kepresidenan, dia malah tidak bisa langsung bertemu Jokowi.
Nasir yang masih dihinggapi jutaan tanda tanya diminta menunggu di sebuah ruangan kecil. Hingga tepat pukul 12 siang, Jokowi menemui Nasir untuk mengajaknya makan siang.
“Anda benar Mohamad Nasir?” kata Nasir menirukan pertanyaan Jokowi di sela-sela agenda makan siang.
Nasir mengiyakan. Tapi pertanyaan itu rupanya tak berlanjut dengan obrolan yang dapat mengungkap apa tujuan mendesak presiden, hingga memintanya harus hadir di Istana Kepresidenan siang itu.
Singkat cerita, Nasir kembali ke Semarang pasca makan siang bersama presiden. Beberapa hari kemudian, dia kembali ke Jakarta. Tapi kali ini dia bukan hendak menghadiri jamuan presiden seperti sebelumnya.
“Ada program penggalangan dana lewat iven golf di sentul. Saya cari duit Rp350 juta untuk mahasiswanya, ternyata dapatnya Rp1,2 miliar,” ujar Nasir.
Agenda penggalangan dana selesai, Nasir kembali ke bandara dengan maksud pulang ke Semarang. Namun, belum sempat boarding, dia sekali lagi diminta datang ke Istana dengan membawa baju kemeja putih.
“Saya bilang kalau saya tidak bawa baju putih. Satu-satunya cuma baju batik lengan pendek yang saya pakai,” kenang Nasir.
Pihak istana tak mempermasalahkan alasan Nasir. Menurut penuturannya, istana sudah menyiapkan satu kamar di Hotel Borobudur, lengkap dengan pakaian kemaja putih yang akan dikenakan oleh dia.
Dan keesokan harinya, Nasir datang ke istana. Di sana, dia sudah melihat para menteri terpilih, yang sudah ditunjuk untuk mengisi pos masing-masing. Dia sendiri dipilih sebagai Menristekdikti, sebuah kementerian yang menggabungkan pendidikan tinggi (dikti) yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), dan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
Tidak Enak Jadi Menteri
Dengan berakhirnya masa jabatan sebagai menteri, Nasir merasa lebih plong. Dia mengaku, menjabat sebagai menteri bukan pekerjaan yang nikmat. Sebaliknya, penuh tekanan.
Bagaimana tidak, lanjut Nasir, setiap hari dia dihadapkan pada tuntutan publik dan media. Belum lagi isu reshuffle yang membuat semua menteri mau tidak mau harus angkat koper, jika namanya dicopot dari daftar pembantu presiden.
“Makanya di tahun pertama berat badan saya turun 5-6 kilogram,” seloroh dia.
Bukan cuma itu. Nasir juga tak jarang harus bolak-balik antar pulau maupun antar negara dalam waktu singkat, ketika diminta untuk menghadiri rapat terbatas (ratas) di istana negara.
Bahkan pernah suatu kali, ketika itu dia baru saja selesai membuka acara negara-negara non-blok di Iran. Tetiba, Nasir diminta kembali ke Jakarta dalam waktu 24 jam untuk agenda ratas.
“Mampus deh. Dirjen saya tinggal. Karena semua menteri disuruh pulang. Saya waktu itu mepet sekali waktunya. Dari Iran cari tiket ke Dubai, langsung berkejar-kejaran waktu lagi untuk cari yang ke Singapura, lalu begitu juga di Singapura cari yang ke Jakarta. Akhirnya, sampai di bandara Jakarta, saya ganti baju, langsung ratas di istana,” ungkap dia panjang lebar.
Menjadi menteri juga membuat Nasir nyaris tidak memiliki waktu untuk berkumpul dengan keluarganya. Tak jarang, anak-anaknya memprotes sang ayah karena terlampau sibuk.
“Bahkan anak saya yang kuliah di Jakarta, mulai dari masuk sampai lulus saya tidak pernah antar,” tutur Nasir.
Sesekali, kata Nasir, jika anak-anaknya rindu bertemu, mereka datang ke Jakarta dari Semarang. Tapi, ke Jakarta pun terkadang belum tentu bisa bertemu.
Hingga pada suatu hari, salah satu anaknya mengalami kecelakaan. Alih-alih bisa menjenguk, Nasir hanya bisa menitipkan si anak kepada rektor, supaya dibawa ke rumah sakit. Alasannya satu, tugas negara.
“Ada rapat kabinet, dan lain-lain. Karena di sini saya mengabdi pada negara,” tandas dia.
KEYWORD :Menristekdikti Mohamad Nasir