Direktur Riset dan Pemberdayaan Masyarakat Kemristek/BRIN Ocky Karna Radjasa (tengah) bersama Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Agung Kuswandono
Jakarta, Jurnas.com - Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memastikan jumlah peneliti asing nakal yang ada di Indonesia sudah berkurang.
Peneliti asing yang dimaksud, menurut Direktur Riset dan Pengabdian Pengabdian Masyarakat Kemristek/BRIN Ocky Karna Radjasa, di antaranya ilmuwan asing yang melakukan penelitian di kawasan Indonesia tanpa izin, juga tidak melibatkan peneliti lokal.
"Jumlah peneliti asing yang nakal dari tahun ke tahun semakin berkurang. Tapi kita mesti tetap waspada terhadap pencurian kekayaan hayati (biopiracy)," ujar Ocky pada Senin (28/10) di Jakarta dalam Seminar Nasional Pencegahan Pencurian Sumber Daya Hayati (Biopiracy) Indonesia.
Guna mengantisipasi pencurian kekayaan hayati dari para peneliti asing nakal, lanjut Ocky, pemerintah mewajibkan seluruh peneliti asing supaya mendapatkan izin, sebelum melakukan penelitian di Indonesia.
Beberapa syarat yang ditetapkan dalam perizinan tersebut antara lain mematuhi undang-undang (UU); melibatkan peneliti Indonesia sebagai mitra kerja, bukan pekerja; mencatumkan nama peneliti Indonesia dalam jurnal atau hak cipta; dan penyerahan data primer penelitian.
Jika persyaratan tersebut diabaikan, maka peneliti asing nakal terancam sanksi, mulai dari peringatan tertulis, denda, hingga pidana.
"Tapi untuk sampai pada sanksi pidana tidak tiba-tiba. Ada tahapan, mulai dari peringatan tertulis, penghentian pembinaan, denda, pencabutan administrasi, lalu masuk daftar hitam," jelas Ocky.
Ocky menambahkan, penetapan izin disambut baik oleh para peneliti asing. Tahun ini, sudah ada 750 peneliti asing yang melakukan pendaftaran. 530 di antaranya sudah diberikan izin untuk meneliti.
"Jadi kalau ada 530 peneliti asing, minimal ada satu partner atau mitra kerja dari Indonesia," ucap dia.
Sementara Plt Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Agung Kuswandono menyebut sudah terlampau banyak kekayaan hayati Indonesia yang dicuri oleh pihak asing, akibat sikap abai pemerintah dan masyarakat.
Dia menyontohkan, ikan hias Indonesia yang elok dan beragam hanya dihargai tidak sampai US$1 oleh Singapura. Padahal ikan hias tersebut selanjutnya dijual setidaknya US$20 oleh Singapura kepada negara lain.
"Sumber daya hayati kita di Indonesia, saya katakan terbaik di dunia. Jangan merasa kalah dengan negara lain. Perlu ada langkah khusus untuk memberdayakannya, kedua untuk menjaganya. Jangan sampai pihak lain fokus melakukan penelitian, peningkatan produksi, sementara kita santai saja," tegas Agung.
Agung juga mengingatkan agar Kemristek melonggarkan anggaran khusus bagi para peneliti Indonesia, untuk mengeksplorasi lebih dalam kekayaan hayati di Tanah Air.
Dia menyebut selama ini kendala peneliti di lapangan ialah keterbatasan anggaran. Padahal kualitas peneliti lokal tidak kalah hebat bila dibandingkan dengan peneliti asing.
"Hasil penelitian harus bisa dimanifestasi untuk industri, bukan skala lab (laboratorium, Red). Kalau lab, sudah ada ribuan. Di IPB, penelitiannya luar biasa. Kalau kita pakai, bisa menyelesaikan berbagai persoalan di Indonesia. Tapi, penelitiannya baru skala lab. Siapa yang harus mengangkat? Pemerintah. Pusat dan daerah harus satu pandangan," tandas dia.
KEYWORD :Kemristek Peneliti Asing Ocky Karna Radjasa