| Sabtu, 07/12/2019 01:15 WIB
Mantan Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila
Jakarta, Jurnas.com - Presiden Joko Widodo dinilai punya momentum emas untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu pada periode kedua kepemimpinannya.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2013-2014, Siti Noor Laila mengatakan, Presiden Jokowi telah menegaskan komitmen untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat dengan menggagas kembali
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), sehingga semua pihak patut mendukungnya.
"Di periode kedua ini, Pak Jokowi tak punya beban lagi ya. Maka ini memang momentum emas dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu," jelas Siti Noor Laila usai diskusi di kantor Seknas Jokowi, Jakarta, Jumat (6/12/2019).
Wanita yang akrab disapa Bu Lela ini menuturkan, sebenarnya upaya menuntaskan kasus
Pelanggaran HAM Berat sudah dilakukan pada periode pertama Jokowi, namun ketika itu regulasi KKR dibatalkan oleh MK.
Sekarang, lanjut Bu Lela, pemerintah berencana menghidupkan kembali
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat yang dapat menjadi beban sejarah.
"Kemenkum HAM kan sudah membuat kembali RUU KKR yang sekarang diajukan ke DPR RI, makanya kami sebagai relawan siap mengawal dan memberi masukan," jelas Bu Lela yang juga Anggota Dewan Pakar Seknas Jokowi.
Sebagai aktivis HAM, Bu Lela yang juga mantan anggota Komnas HAM periode 2012-2017 menilai RUU KKR perlu pengayaan konsep dan road map penyelesaian, agar bisa fokus dan mampu membangun rekonsiliasi.
"Ini perlu kajian dan naskah akademik dalam RUU KKR. Maka masukan dan komunikasi dengan semua pihak harus dibangun. Termasuk tentunya dengan para korban. Maka inilah yang kami terus lakukan," jelasnya.
Menurut Bu Lela, sebenarnya program menuntaskan kasus pelanggaran HAM sudah ada dalam nawacita pertama Jokowi, bahkan sudah termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
"Bahkan di pidato yang disampaikan pada 16 Agustus 2015, pak presiden juga bicara soal penyelesaian pelanggaran HAM berat. Jadi sekali lagi ini memang yang harus segera," tegasnya.
Ia mengakui, penanganan kasus pelanggaran HAM berat pastinya tak bisa lepas dari situasi politik yang berkembang.
Nah, ia melihat bahwa sekarang ini sebenarnya presiden sudah tidak memiliki beban sehingga mestinya langkah untuk penyelesaian lebih mudah.
Sebagai langkah awal, Bu Lela menilai pemerintah perlu membangun komunikasi-komunikasi dengan para pihak terkait. Juga mencairkan suasana agar nantinya fokus pada penyelesaian.
"Jadi ada dua proses secara simultan dilakukan. Yakni rancangan undang undang KKR ke DPR, sekaligus juga komunikasi sebagai langkah persiapan dalam melakukan rekonsiliasi," ujar Siti Noor Laila, anggota Komnas HAM 2012-2017, Dewan Pakar Seknas Jokowi.
Sementara itu, Anggota Watimpres Sidarto Danusubroto menuturkan, UU KKR memang pernah dibahas DPR pada 2014 namun dibatalkan MK. Kemudian pada periode kedua pemerintah Jokowi saat ini, ada niat kuat untuk mengajukan kembali Komisi Kebenaran Rekonsiliasi.
"Dulu 2014 kebetulan saya Ketua Pansus RUU KKR ya, walau saat itu dibatalkan MK. Maka upaya pemerintah melahirkan kembali KKR ini adalah satu upaya yang bagus yang perlu disambut," jelas Sidarto.
Ia juga menilai diskursus RUU KKR yang dilakukan Seknas Jokowi akan memberi banyak masukan, karena menghadirkan tokoh penggiat, bahkan sebagian dari mereka adalah para korban. Dan apa yang dilakukan ini adalah untuk memberikan sharing naskah akademik.
"Sekarang kita tau ada komitmen yang kuat dari pemerintah. Bahkan dari Menko Polhukam sangat mendorong hal ini. Maka dialog yang melibatkan pakar dan para korban bisa membantu upaya rekonsiliasi," jelas Sidarto Danusubroto, Ketua MPR RI (2013–2014), Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2015–sekarang).
KEYWORD :
Pelanggaran HAM Berat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi