Senin, 23/12/2024 20:39 WIB

FGMB Tuntut Pemenuhan Hak Adat

Somasi telah dilakukan berkali-kali yang dimulai pada 24 Januari 2018, namun tidak ada tanggapan dari pihak perusahaan.

Para Dewan Adat Dayak, Lembaga Adat Dayak, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Kalimantan Selatan pada khususnya dan seluruh Kalimantan pada umumnya bersatu dengan FGMB untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat.

Tanah Bambu, Jurnas.com – Pemenuhan hak-hak masyarakat adat dalam investasi tidak seindah di atas kertas. Terbukti masih ada gugatan terhadap keberadaan perusahaan pertambangan karena dianggap merugikan. Ada ketidakpuasan masyarakat adat terhadap kehadiran perusahaan.

PT Borneo Indobara bidang usahanya pertambangan batubara dan PT Hutan Rindang Banua bergerak dalam bidang perkebunan, karena dianggap merugikan dan tidak ada manfaat siginfikan untuk masyarakat. Di sisi lain, ada ketidakjelasan posisi masyarakat adat dalam bagi hasil investasi. Hal itu berakibat terjadinya konflik penolakan dan gugatan untuk menghentikan perusahaan yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi/produksi pertambangan dan perkebunan pada wilayah yang terkait.

Di kawasan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan ada izin usaha pertambangan dan perkebunan perusahaan yang meliputi desa-desa yaitu Desa Sebamban Baru dan Desa Sebamban Lama (Kecamatan Sungai Loban), Desa Mangkalapi dan Desa Hatiif (Kecamatan Kusan Hulu), Desa Kuranji    dan Desa Giri Mulya (Kecamatan Kuranji), serta sejumlah desa lainnya terdampak akibat operasional perusahaan.
Masyarakat di desa-desa tersebut bergabung dan memberi Kuasa pada Forum Gerakan Masyarakat Borneo (FGMB) sejak Januari 2018 untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat melalui jalur hukum yang berlaku.

Somasi telah dilakukan berkali-kali yang dimulai pada 24 Januari 2018, namun tidak ada tanggapan dari pihak perusahaan.  Kemudian masyarakat melakukan aksi unjuk rasa sebagai bentuk protes di lokasi sengketa. Aksi damai 27 Oktober 2019 adalah aksi keempat kalinya setelah sebelumnya aksi serupa pada 23 Maret 2019, 19 Juni 2019 dan 28 Juni 2019.

“Berbagai aksi damai itu tidak pernah mendapat tanggapan serius dari perusahaan. Hanya saja Pada 28 Juni 2019 pihak perusahaan berjanji akan merumuskan tuntutan masyarakat mengenai lahan yang digarap perusahaan. Nyatanya sampai kini belum dirumuskan untuk realisasi pembagian keuntungan adil atas kegiatan produksi perusahaan sesuai dengan potensi sumber daya alam dalam bentuk royalti pertambangan dan perkebunan yang sudah berlangsung selama 4 tahun ini,” ungkap Ketua Forum Gerakan Masyarakat Borneo (FGMB) Surya Aji Saka dalam siaran persnya.

Setelah aksi masyarakat yang kelima tidak juga ditanggapi, lalu para Dewan Adat Dayak, Lembaga Adat Dayak, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Kalimantan Selatan pada khususnya dan seluruh Kalimantan pada umumnya bersatu dengan FGMB untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat.

Tunntutan kepada perusahaan tersebut antara lain:

1. Membayar konpensasi terhadap lahan yang sudah digarap (masyarakat tidak mendapatkan haknya selama 4 tahun lebih sejak perusahaan mulai produksi di wilayah tersebut)

2. Membayar konpensasi terhadap lahan yang sedang digarap sekarang dan berikutnya selama masa periode perizinan lahan dan produksi di wilayah tersebut berlangsung.

3. Membuat kemitraan dengan masyarakat melalui Lembaga yang telah ditunjuk oleh masyarakat.

“Hak-hak masyarakat adat harus dihormati sesuai Pasal 18 UUD 1945, hal ini juga berlaku terhadap hak masyarakat adat pada wilayah pertambangan dan perkebunan. Hambatan-hambatan yuridis yang terjadi yaitu menyangkut kepastian hukum terkait dengan hak-hak masyarakat adat serta bagi hasil investasi perusahaan yang belum jelas, harus diselesaikan segera,” Aji Saka.

KEYWORD :

FGMB Surya Aji Saka PT Borneo Indobara Unjuk Rasa Tanah Bumbu




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :