Ilustrasi Perumahan (Istimewa)
Jakarta - Langkah pemerintah pangkas berbagai perizinan dan pajak di sektor properti dinilai sebagai angin segar bagi upaya pemenuhan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Namun pemerintah tetap diminta untuk mengawasi para pengembang agar kebijakan ini mampu menurunkan harga properti, bukan justru hanya memperbesar keuntungan pengembang.
“Setiap kebijakan pemerintah tujuannya pasti baik. Namun pengalaman dan praktik dimasa lalu membuktikan bahwa rakyat kebanyakan seringkali kesulitan untuk menikmati dampak positif dari kebijakan itu,” tandas Fathan Subchi, Anggota Komisi V DPR di Jakarta, Senin (29/8/2016).
Fathan menegaskan, saat ini harga properti di berbagai wilayah Indonesia terus meningkat dan semakin sulit terjangkau oleh MBR. Kenaikan harganya bahkan jauh diatas inflasi yang menjadi benchmark kenaikan pendapatan masyarakat, khususnya pekerja swasta.
Situasi ini semakin sulit mengingat pelemahan ekonomi sekarang ini telah membuat penghasilan masyarakat ikut tertekan. Alhasil, memiliki rumah bagi mayoritas MBR menjadi sebuah mimpi yang sulit diwujudkan.
Anggota Komisi V yang membawahi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat ini mengingatkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga akhir tahun 2015 lalu mencatat bahwa masih ada 17,3% atau sekitar 11,8 juta rumah tangga yang tinggal di hunian non milik (sewa, kontrak, numpang, rumah dinas atau tidak memiliki rumah sama sekali).
“Masih banyak rakyat kita yang berpenghasilan rendah sulit memiliki rumah. Disinilah pemerintah harus bisa memastikan bahwa aturan barunya dapat memudahkan rakyat kecil tidak lagi kontrak ataupun sewa rumah di sepanjang hayatnya,” katanya.
Untuk memastikan kebijakan pemerintah di sektor properti ini dapat memangkas harga rumah, Fathan meminta pemerintah menindak tegas pengembang-pengembang nakal.
Pasalnya selama ini banyak pengembang yang tidak mau menjalankan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Bahwa sesuai beleid ini setiap pengembang wajib membangun rumah mewah, rumah menengah, dan rumah sederhana dengan perbandingan 1:2:3.
“Selama ini UU ini seperti macan kertas yang tak bisa dilakukan. Karena itu jika pelanggaran terhadap UU ini masih terjaddi, pemerintah wajib menindak tegas pengembang yang melanggar. Kita sudah terlalu lama dinina bobokkan oleh pengembang-pengembang besar yang hanya mengejar untung,” imbuhnya.
Fathan juga meminta Bank Indonesia terus menekan tingkat suku bunga acuan sehingga bunga KPR makin terjangkau. Saat ini dengan acuan seven daya repo 5.25%, mestinya KPR ke konsumen bisa dibawah single digit.
Sebelumnya pada 24 Agustus lalu pemerintah telah merilis Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) ke XIII yang diantaranya memangkas sejumlah aturan di sektor properti.
Dalam peraturan pemerintah (PP) yang akan diterbitkan, pemerintah memangkas waktu perijinan yang memungkinan pembangunan rumah bagi MBR yang semula butuh 769-981 hari dapat dipercepat menjadi 44 hari.
PKE ini diluncurkan untuk mendukung realisasi Program Nasional Pembangunan Satu Juta Rumah yang merupakan bagian dari RPJMN 2014-2019.
KEYWORD :Properti MBR Harga Perumahan Komisi V