Kamis, 28/11/2024 15:02 WIB

Gunakan Pakaian Adat, Mahasiswa Toraja Indonesia Serbu Gedung MA

Mereka protes putusan MA yang berimplikasi akan dirampasnya tanah adat Lapangan Gembira dan SMA Negeri 2 Rantepao

Aksi Mahasiswa Toraja di depan Gedung MA (Istimewa)

Jakarta, Jurnas.com – Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Toraja seluruh Indonesia bersama warga asal Toraja di Jabodetabek menggelar aksi unjuk rasa di kantor Mahkamah Agung (MA) Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta pusat, Selasa (28/7/2020).

Mereka mengenakan pakaian adat dan sebagian lainnya berkostum hitam tanda berkabung dan protes keras atas putusan MA yang berimplikasi akan dirampasnya tanah adat Lapangan Gembira dan SMA Negeri 2 Rantepao, Toraja Utara oleh pihak dari luar masyarakat adat Toraja.

Para mahasiswa tersebut menggelar atraksi ma’badong sebuah tari yang biasanya dilakukan saat kematian. Tari ma’badong tersebut merupakan simbol duka atas matinya keadilan dan hukum di lembaga MA sebagai benteng terakhir keadilan di Indonesia.

Lois Banne Noling, perwakilan mahasiswa Toraja dari Manado mengatakan, tari ma’badong lazimnya digelar saat pesta orang mati di Toraja, tetapi sebagai simbol kedukaan masyarakat Toraja, para mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia tersebut sengaja menggelar tari ma’badong. Masyarakat Toraja berduka oleh ulah MA.

Turut hadir Kepala SMA Negeri 2 Rantepao, Drs Yuliaus Lamma Bangke dan Ketua Ikatan Alumni SMA Negeri 2 Rantepao Wilayah Jabodetabek Imanuel Kala. Sementara itu, hadir pula sesepuh masyarakat Toraja Samuel Parantean Penasihat Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI), Pither Singkali Ketua Bidang Hukum PMTI dan juga Ketua Gertak sekaligus pengacara Pemda Toraja Utara.

Para mahasiswa Toraja itu meminta dengan tegas MA mengabulkan Peninjauan Kembali dengan mengembalikan tanah adat tersebut kepada masyarakat yang selanjutnya terus dimanfaatkan sebagai fasilitas pelayanan publik termasuk SMA Negeri 2 Rantepao, Puskesmas, dan Telkomsel.

Mereka juga menuntut Kepolisian Republik Indonesia segera mengusut tuntas Laporan Polisi LBP/203/X/2018/SPKT terkait Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen (Pasal 263 KUHP) terkait perkara tersebut. Sebab, diduga keras sejumlah pihak telah memalsukan dokumen dan juga ada saksi yang memberikan keterangan palsu.

Mahasiswa Toraja minta dengan tegas Komisi Yudisial untuk segera menyelidiki perkara Sengketa Lapangan Gembira dan memeriksa para hakim yang terlibat dalam mengadili Perkara Sengketa Lapangan Gembira. Mereka juga mendesak Komisi III DPR untuk segera memanggil pihak terkait dalam kasus tanah adat tersebut, karena diduga keras terjadi praktik peradilan sesat.

Janji Presiden Jokowi

Mahasiswa Toraja juga meminta dengan tegas Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo yang memenangi pemilu 90 persen di Toraja 2019 untuk merealisasikan janji kampanyenya dalam menjamin Hak-Hak Masyarakat Adat dalam hal ini Masyarakat Adat Toraja! Selain unjuk rasa di kantor MA, para mahasiswa Toraja juga menggelar aksi demonstrasi di depan Istana Negara.

Menurut Ignatius Tandi Rano, Koordinator Steering Committee Mahasiswa Toraja Indonesia, mereka mendatangi gedung MA menuntut keadilan bagi warga masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara terkait kasus perampasan tanah adat oleh penggugat.

Dijelaskan, aksi tersebut berkaitan dengan sengketa lahan adat "Rante Menduruk" di Kabupaten Toraja Utara yang kini masuk dalam tahap Peninjauan Kembali (PK). Lahan seluas 3000 m2 tersebut awalnya adalah milik masyarakat adat yang dihibahkan kepada pemerintah untuk penyediaan fasilitas layanan publik seperti sekolah, gedung olahraga, puskesmas, dan sejumlah kantor milik pemerintah.

Dalam perkembangannya lahan tersebut kemudian diklaim dan digugat oleh pihak lain dengan menempatkan pemerintah sebagai tergugat. Pemda Toraja Utara bersama masyarakat adat bersama pemerintah telah kalah hingga tingkat kasasi di MA melalui Putusan Kasasi No.718 K/Pdt/2019 tanggal 12 Juni 2019. Saat ini upaya yang ditempuh untuk mendapatkan keadilan adalah dengan mengajukan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum terakhir.

Masyarakat adat sendiri tidak pernah merasa menjual lahan tersebut kepada pihak manapun. Karena itu, elemen masyarakat Toraja terutama mahasiswa menduga keras ada sejumlah keganjilan atau praktek peradilan sesat dalam putusan tersebut, terutama dalam konteks penerapan hukum sehingga perlu mengawalnya dalam bentuk advokasi non litigasi.

Mereka menduga keras, oknum pejabat tinggi MA telah menyalahgunakan jabatannya dan memengaruhi proses di semua tingkat hingga di tingkat kasasi, sehingga selalu memenangkan pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah adat, padahal dari luar pemangku adat Toraja.

Jika MA tetap menguatkan putusan kasasi dan menolak upaya PK dari Pemda Toraja Utara, maka lahan SMA Negeri 2 dan sejumlah kantor pemerintah di kawasan Lapangan Gembira tersebut, akan disita. Olehnya, mereka meminta MA berikan keadlian bagi kasus sengketa ini.

Kasus ini tengah dalam proses hukum terakhir, yakni PK yang diajukan oleh Pemda Toraja Utara melalui kuasa hukumnya dari tim hukum Pemda, Kejaksaan Negeri Makale, dan tim kuasa hukum Topadatindo di Jakarta antara lain Pither Singkali, Daniel Tonapa Masiku, Vincent Ranteallo, Marthinus Monod, Haerudin Pagajang, dan Sattu Pali.

Sebelumnya, Pither Singkali, proses persidangan kasus tanah SMA Negeri 2 Rantepao ini sarat dengan praktik peradilan sesat mulai dari tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga MA. Dia menduga keras, para saksi yang didengar keterangannya di persidangan telah memberikan keterangan palsu, demikian pula alat bukti yang semuanya hanya foto kopi adalah palsu belaka.

KEYWORD :

MA Mahasiswa Toraja Lapangan Gembira Toraja Utara




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :