Febriona Susanti, finalis calon menteri sehari
Jakarta - Semua orang pasti merasa tidak nyaman ketika diancam fisik maupun psikis, dan diintimidasi sesama temannya ketika kecil (bullying). Pasalnya, anak-anak korban bullying lebih berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Namun tak jarang mereka yang jadi korban malah lebih kuat menghadapi masalah dan termotivasi untuk meningkatkan potensi dirinya.
Febriona Susanti (15) contohnya. Remaja asal Desa Leuleba, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur ini kerap mengalami bullying di sekolah.
Terlahir sebagai anak dari ayah yang berprofesi sebagai petani ubi, anak bungsu dari tiga perempuan bersaudara ini beruntung dapat mengeyam pendidikan. Kakak perempuan tertuanya harus berhenti sekolah karena himpitan ekonomi. Sedangkan kakak nomor dua sudah jauh merantau di Kota Malang, berkuliah dan hidup mandiri tanpa bantuan keuangan dari keluarga.
Siswi kelas 2 di SMP Santopius 10 ini kerap diejek teman-teman di sekolahnya. Postur yang tidak setinggi teman sebaya dan cacat kaki yang dideritanya, kerap dijadikan hinaan teman-teman di sekolah. Ini dialami Susan sejak di bangku sekolah dasar (SD).
“Mereka bilang Susan tidak pantas sekolah di swasta. Susan harusnya sekolah di SLB sana,” ucap Susan kepada Jurnas.com. Tangisnya pecah. Matanya tidak kuat lagi menampung air mata yang tumpah mengingat perlakuan temannya.
Menteri Hanif Terima Rekomendasi Annisa
Untuk menghindari ejekan, Susan pernah pindah sekolah. Ibunya berharap jika Susan bersekolah di Santopius 10, ejekan dan makian itu dapat diatasi. Nyatanya, hinaan makin menjadi-jadi.
“Tas saya pernah dibuang, dimaki, diludahi, pokoknya hinaan yang tidak pantas,” ungkapnya.
Enam Finalis Berangkat ke Luar Negeri
Meski mendapat perlakuan yang tidak baik, Susan mengaku tidak pernah membalas. Ia tidak pernah melaporkan tindakan tersebut kepada gurunya. Bahkan Susan harus terpaksa berbohong jika matanya yang sembab sehabis menangis ketahuan oleh guru di sekolah.
“Kalau aku lapor nanti malah tambah diejek. Jadi aku terpaksa buat alasan kalau mataku sakit kemasukan debu,” tukasnya.
Susan tak menyangka bisa ke Jakarta, apalagi dipilih jadi finalis program Sehari Jadi Menteri. Ketika bercerita ia bisa makan enak di Jakarta, air mata Susan kembali mengalir deras saat membayangkan betapa sulit keluarganya di rumah untuk makan sehari-hari.
“Kalau di sini aku makan enak, suka inget mama yang di rumah sulit buat dapat makanan.”
Meskipun Susan mengungkapkan tidak cukup mampu bersaing di bidang akademis, tapi Susan memiliki harapan kelak dirinya dapat mempersembahkan ijazah sarjana kepada orang tuanya. "Saya ingin jadi sarjana, dan harapan terbesar saya bisa diterima oleh teman-teman di sekolah tanpa diskriminasi," ujarnya lirih.
KEYWORD :
Sehari Jadi Menteri