Kamis, 26/12/2024 21:28 WIB

Soal Penolakan UU Kebiri, Ini Alasannya

UU Kebiri belum menyentuh substansi yang sebenarnya, seperti peningkatan hukuman masih banyak catatan-catatan dan tanda tanya dari konteks keseluruhan.

ilustrasi

Jakarta - Pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang menyisakan persoalan. Banyak pihak menilai UU tersebut belum menyentuh substansi yang sebenarnya, seperti peningkatan hukuman masih banyak catatan-catatan dan tanda tanya dari konteks keseluruhan.

Dari hasil voting, memang, akhirnya Perppu tersebut menjadi UU yang telah disepakati dalam sidang paripurna DPR pada Rabu (12/10) kemarin. Namun arus penolakan juga terjadi, diantaranya dari pegiat kemanusiaan, aktivis perlindungan anak, aktivis HAM serta pegiat reformasi hukum.

Menurut Ajeng Gandini, peneliti pada Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menunjukkan tidak ada satu pun pasal yang mencantumkan mengenai korban, khususnya pasal yang mengatur untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban. Seharusnya, kata Ajeng, korban kejahatan seksual tersebut harus mendapatkan proses pemulihan maksimal dari negara.

"Negara lebih berani membayar mahal biaya kebiri terhadap pelaku dibanding ongkos untuk perlindungan korban," jelas Ajeng kepada jurnas.com/">jurnas.com di Jakarta, Kamis (13/10).

Padahal akurasi rujukan ketersediaan database, kata Ajeng, juga masih sangat minim. Misalnya saja soal berapa jumlah korban anak atau dewasa yang masih terabaikan pemulihannya paska keputusan, jika pun ada pemulihan korban, berapa persen dari total pemulihan yang berbanding dengan total keseluruhan laporan korban kejahatan seksual, berapa disparitas cost dan benefit antara yang negara berikan untuk biaya penghukuman pelaku dengan biaya recovery korban. Deretan ketersediaan database itu masih panjang jika semua semua elemen dari sisi pemulihan korban dimasukkan.

"Kami berkesimpulan bahwa sebenarnya UU itu masih ada celah kekosongan hukum dan belum memenuhi suatu ihwal `kegentingan yang memaksa` sehingga perlu mengubah perppu itu menjadi UU," beber Ajeng, yang bersama elemen lain yang tergabung dalam aliansi 99 sedang berproses hendak mengajukan Judicial Review atas UU tersebut.

Sebenarya pemerintah bisa mendorong turunan dari UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Bab VII Anak Korban dan Anak Saksi, khususnya pasal 89-90, yang mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan hak anak korban dan sanksi, untuk diatur dengan Peraturan Presiden.

"Masalahnya, sampai saat ini tanggungjawab presiden untuk mengesahkan Peraturan Presiden yang mengatur pelaksanaan hak korban tersebut belum ada kabarnya," ucap peneliti masalah hukum itu.[]

KEYWORD :

jurnas UU Kebiri penolakan aliansi 99 ajeng gandini ini alasannya pemulihan korban kejahatan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :