Jum'at, 27/12/2024 18:18 WIB

RPP SDA Perlu Perhatikan Keseimbangan Kepentingan Rakyat dan Bisnis

titik krusial dari RPP SDA ini adalah bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan pemenuhan hak-hak rakyat dan kepentingan bisnis.

Ilustrasi air (foto: Liputan6)

Jakarta, Jurnas.com - Tim Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian sudah meng-upload flyer RPP NSPK (Norma, Standar, Prosedur, Kriteria) Perizinan Berusaha Berbasis Resiko Bidang Sumber Daya Air (SDA) di situs resmi uu-ciptakerja.go.id.

Di sana disebutkan bahwa perizinan berusaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 tahun. Sedang untuk proses izinnya sendiri itu harus bisa diselesaikan dalam waktu 7 hari kerja, yang terdiri dari Rekomtek (rekomendasi teknik) 3 hari dan proses perizinan berusahanya 4 hari.

“Jika semua persyaratan pengajuan perizinan berusaha ini sudah lengkap, itu harus keluar rekomteknya dalam tiga hari kerja setelah data tersebut diterima. Jadi ini bagi teman-teman di Balai Sungai, dalam tiga hari kerja mereka harus selesaikan. Apakah ini pekerjaan berat apa ringan?” ujar Dr. Ir. Firdaus Ali, Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) pakar dan pelaku usaha yang menjadi masukan kepada pemerintah dalam penyusunan RPP NSPK Perizinan Berusaha Berbasis Resiko Bidang SDA baru-baru ini.

Seperti diketahui, Pemerintah membuka ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memberikan masukan dan usulan dalam penyusunan peraturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja setelah diundangkan pada 2 November 2020.

Kata Firdaus, sebetulnya 7 hari itu pekerjaan ringan karena memang sudah tugas mereka sehari-hari. Namun, dia menuturkan bahwa yang terjadi di lapangan banyak pelaku usaha yang mengajukan permohonan hingga berbulan-bulan tidak mendapatkan rekomtek.

Karenanya, menurut Firdaus, kecepatan proses perizinan itu yang nantinya akan dipertegas melalui NSPK dan diharapkan bisa dipahami oleh semua pihak terkait.

Enny Sri Hartati, Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan yang menjadi titik krusial dari RPP SDA ini adalah bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan pemenuhan hak-hak rakyat dan kepentingan bisnis.

Menurutnya, yang diperlukan sekarang adalah tinggal bagaimana mengharmonisasikan, mensinergiskan, mengkoordinasikan, mengadilkan dengan kebijakan-kebijakan yang transparan dan akuntabel, sehingga masing-masing pihak ini punya kepentingan.

“Jadi pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kepentingan pengusaha untuk kepentingan bisnis juga mempunyai kepastian untuk terpenuhi. Ini yang menurut saya harus diselesaikan ke depannya,” katanya.

Liana Bratasida, Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, adanya keseimbangan itu penting sekali. “Keseimbangan di antara hak rakyat dan juga kepentingan bisnis. Karena bisnis adalah bagian dari rakyat juga. Keseimbangan antara lingkungan, ekonomi, dan aspek sosial, itu juga menjadi penting,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Rachmat Hidayat, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin). Dia mengatakan kelestarian sumber daya air harus tetap dipertahankan, hak rakyat atas air harus menjadi nomer satu, dan swasta juga harus dipertimbangkan.

“Tapi jangan sampai diterjemahkan bahwa swasta itu kalau investasi tunggu kalau airnya ada baru bisa jalan. Secara ekonomi itu akan berat bagi pelaku usaha. Ini hanya bisa dilakukan kalau database mengenai sumber daya air di suatu wilayah tersedia,” ucapnya.

Karenanya, pemerintah perlu memetakan sumberdaya air yang tersedia agar bisa menetapkan alokasi. Kalau tidak, kata Rachmat, cita-cita pemerintah di Undang-Undang Cipta Kerja malah tidak akan tercapai. Menurutnya, pelaku usaha perlu memiliki informasi yang lengkap untuk menentukan investasi bisa jalan atau tidak.

“Karena itu, perlu kita garis bawahi, SDA itu hajat hidup semua mahluk dan semua masyarakat termasuk perusahaan. Perusahaan tidak akan dapat beroperasi tanpa Sumber Daya Air, di sektor industri manapun,” katanya.

Prof. Ir. Lambok Hutasoit PhD, Pengamat Hidrogeologi ITB, menyarankan agar pengelolaan air tanah itu harus dilakukan berdasarkan cekungan air tanah (CAT) tidak wilayah sungai (WS). Karena, menurutnya, wilayah sungai itu tidak jelas batasannya.

“Cekungan air tanah perlu dievaluasi agar tidak ada daerah yang tidak bertuan. Jadi dalam peta cekungan air tanah di Indonesia, itu masih banyak yang tidak ada cekungan air tanahnya, itu sebetulnya tidak tepat. Air tanah itu ada walaupun kecil. Jadi kami mengusulkan semuanya dipetakan lagi, diklasifikasikan seperti itu,” tuturnya.

Dr. Nana Mulyana, Ahli Hidrologi IPB, juga meminta agar masalah DAS (daerah aliran sungai), CAT, dan Wilayah Sungai, perlu diperjelas di RPP SDA. Menurutnya, CAT untuk air tanah itu berbeda sekali dengan DAS.

“Tapi yang terpenting adalah neraca airnya yang harus nanti kita perhatikan. Karena neraca air kita itu berbeda-beda, ada supply dan demand,” tukasnya.

Dr. Ir. Heru Hendrayana, Dosen Teknik Geologi UGM, meminta jangan sampai sumber daya air atau air itu beralih menjadi barang yang strategis. Kalau itu dilakukan maka ini akan menjadi suatu hal yang berbahaya.

“Karenanya keseimbangan itu harus terjaga. Selama keseimbangan itu terjaga, maka kita tidak akan mengarah ke arah yang strategis,” katanya.

KEYWORD :

RPP SDA Hak Rakyat Pelaku Bisnis




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :