Hamparan padi Inpari 43 Agritan GSR pada Musim Kemarau di Desa Wareng, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.
Kalimantan Tengah, Jurnas.com – Inpari 42 adalah salah satu varietas yang banyak ditanam di area food estate Kalimantan Tengah. Hal ini tidak terlepas dari preferensi petani karena keunggulan yang dimiliki varietas tersebut.
Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Tengah, Susilawati menjelaskan, varietas Inpari 42 memiliki rendemen beras yang tinggi, 64-68%, selain itu karena banyak permintaan benih, sehingga banyak pula minat petani untuk menjadikan benih.
Tak hanya itu, lanjut Susilawati, nilai jual gabah dari varietas yang dilepas pada 2016 ini cukup tinggi, bahkan melebihi harga pembelian yang ada.
"Bahkan dengan kondisi saat ini yang dapat dibilang kurang bagus karena penjemuran tidak maksimal, harga gabah Inpari 42 mencapai Rp 5.300, di atas harga pasaran yang hanya Rp 4.800," jelas di baru-baru ini.
Inpari 42 juga merupakan padi yang disebut Green Super Rice (GSR), yaitu padi ramah lingkungan, sehingga tidak memerlukan pupuk yang banyak, namun lebih banyak aplikasi bahan organik.
"Sehingga di paket teknologi RAISA, kita menggunakan selain kapur juga biotara, yaitu mikroba yang bekerja di tanah sulfat masam, seperti di rawa ini," jelas Susilawati.
RAISA adalah akronim dari Rawa Intensif, Super dan Aktual dimana dalam paket teknologi ini terdapat berbagai aplikasi teknologi mulai dari penggunaan varietas unggul, pengelolaan air, pemanfaatan pembenah tanah, pemupukan spesifik, pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, hingga penggunaan mekanisasi pertanian.
Susilawati menambahkan, tidak hanya Inpari 42 yang disukai oleh petani di kawasan food estate, namun juga beberapa varietas unggul hasil Balitbangtan yang lain seperti Inpari 30 dan Inpari 32.
"Walaupun kita memiliki varietas spesifik lokasi, namun tetap kita kembalikan pada preferensi petani, sehingga apa yang diterapkan di lapang adalah hasil inovasi dan preferensi petani, itu terkait varietas," tambahnya.
Menurut Susilawati, para petani di Kalimantan Tengah telah lama mengenal berbagai inovasi teknologi yang saat ini diterapkan di kawasan food estate. "Jadi bukan saat ini mereka baru mengenal, tapi bagaimana kita mematangkan semua komponen itu menjadi satu kesatuan yang utuh," jelas dia.
Sementara, mengenai hasil produksi yang telah mampu mencapai target, Susilawati memberikan apresiasi kepada para petani. "Di sinilah proses inovasi, adopsi dan intervensi terjadi. Dengan aplikasi di lapang dan petani telah mengikuti secara tepat, terbukti dapat terjadi peningkatan produksi," kata dia.
Menurut Kepala Balitbangtan Fadjry Djufry, teknologi ini sebelumnya telah teruji di lahan rawa pasang surut di wilayah Sumatera dan Kalimantan, serta dapat meningkatkan produktivitas padi hingga 5-6 ton per hektare.
"Tterbukti di Kabupaten Pulang Pisau ini, hasil panen petani rata-rata diatas 5 ton," ujar dia saat mendampingi Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo menyaksikan panen di Desa Gadabung, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Rabu (10/2).
Syahrul juga menunjukkan optimismenya atas program food estate ini. "Ini merupakan final check, terhadap kesiapan 30 ribu hektare proses awal food estate di Kalteng. Secara umum sudah mulai kelihatan hasil panen yang makin baik," ujar dia.
Dia juga menilai dari hasil panen yang ada, apa yang telah dilakukan untuk program ini dapat dilanjutkan. "Kalau kita saksikan hasilnya membuat kita optimis, diatas 4-5 ton per hektare sudah bagus pada lahan rawa, mudah-mudahan bisa diatas itu. Kita tunjukkan ini tidak direkayasa, ada aspek-aspek dasar untuk kita lanjutkan," kata dia.
KEYWORD :
Inpari 42 Kalimatan Tengah Food Estate