Isma Yatun, pimpinan BPK
Jakarta, Jurnas.com - Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dr. Isma Yatun menilai pemerintah belum maksinal dalam menjalankan amanat undang-undang terkait penyediaan rumah susun layak huni dan berkelanjutan.
Kebijakan dan regulasi dari setiap level pemerintahan belum semua mendukung penyediaan rumah susun layak huni dan berkelanjutan.
Hal ini ditegaskan Isma Yatun saat acara Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Atas Efektivitas Penyediaan Rumah Susun Layak Huni dan Berkelanjutan TA 2018 - Semester I 2020, sekaligus Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Atas Belanja Modal Dirjen SDA TA 2019 dan 2020 Atau s.d Triwulan III Pada Kementerian PUPR Serta Instansi Terkait Lainnya, di Jakarta, Selasa(30/3/2021).
Isma Yatun menilai kebijakan terkait penyediaan rumah susun belum dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Selain itu, lanjutnya, masih terdapat peraturan dalam penyelenggaraan rumah susun yang tidak sinkron antara peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Acara yang diadakan secara virtual ini diikuti Menteri PUPR Basuki Hadimoeljono, Wakil Menteri PUPR Jhon Wetipo yang didampingi Sekjen, Irjen, Dirjen Perumahan, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur dan Dirjen SDA Kementerian PUPR.
Turut mendampingi Isma Yatun antara lain, auditor utama keuangan negara IV dan para pejabat struktural serta p jabat fungsional pemeriksa di lingkungan Auditor Keuangan Negara IV BPK RI.
Menurut Isma Yatun, pengimplementasian sumber pendanaan alternatif selain APBN dalam penyediaan Rusun belum terlaksana sepenuhnya.
Sumber pendanaan alternatif selain APBN yang diterapkan oleh Kementerian PUPR yaitu Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), dimana proyek pembangunan Rusun dengan mekanisme KPBU sampai saat ini progresnya masih dalam tahap perencanaan dan penyiapan.
"Hal ini terjadi karena terkendala adanya permasalahan lahan disekitar lokasi, studi kelayakan yang masih dalam proses penyelesaian dan skema pembiayaan KPBU yang masih dalam proses kajian,"kata Isma Yatun.
Aspek lain yang menjadi kendala disampaikan Isma Yatun adalah aspek Kelembagaan dan Tata Laksana. Dalam hal ini ditemukan antara lain, proses verifikasi permohonan/usulan bantuan pembangunan Rusunawa belum dilaksanakan secara cermat, dan kepastian ketepatan sasaran belum sesuai tujuan program.
Isma Yatun menilai ada permohonan/usulan yang belum lengkap secara administrasi, dan/atau belum layak secara teknis, tetapi sudah masuk dalam SK penetapan lokasi.
Juga belum adanya mekanisme yang spesifik dan terukur untuk memastikan bahwa penerima manfaat dari bantuan pembangunan rumah susun sewa tepat sasaran sesuai rencana peruntukan awal khususnya untuk MBR.
Sedang aspek Lingkungan Pendukung, jelas Isma Yayun, disebutkan bahwa Kementerian PUPR belum melaksanakan koordinasi dengan pihak Kementerian ATR/BPN, dalam hal pemanfaatan tanah negara/daerah dan tanah yang terlantar untuk penyediaan rusun.
"Kementerian PUPR belum sepenuhnya menyusun skema pemberian insentif kepada pengembang untuk mendorong penyediaan rusun bagi MBR, dan belum menyelesaikan pembentukan lembaga pengelola pemasaran rusun bagi MBR," kata Isma Yatun.
Ia juga mengatakan hingga saat ini PUPR belum sepenuhnya dapat menyusun skema insentif fiskal maupun insentif dalam bentuk lain bagi pengembang dalam rangka pembangunan rusun bagi MBR.
Adapun proses pembentukan badan pelaksana perumahan belum selesai dikarenakan harus menyesuaikan dengan terbitnya UU Cipta Kerja, yang di dalamnya terdapat amanat pembentukan Percepatan Penyelenggaraan Perumahaan (BP3).
Dalam hal penyederhanaan perizinan pembangunan rusun, sebut Isma Yatun, Kementerian PUPR belum sepenuhnya berkoordinasi dengan pemerintah daerah, dan masih terdapat proposal permohonan bantuan pembangunan rusunawa belum seluruhnya memenuhi persyaratan administrasi.
"Kelemahan-kelemahan tersebut, apabila tidak segera diatasi, maka dapat mempengaruhi efektivitas penyediaan rumah susun layak huni dan berkelanjutan ini," tuntas Isma Yatum
Isma Hatun BPK PUPR