Wakil Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) bidang Logistik dan Kepelabuhanan, Erwin Taufan. Foto: ginsi/jurmnas.com
JAKARTA, Jurnas.com – Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) melihat salah satu dampak pandemi covid-19, setiap Negara di dunia berusaha melindungi pasar di dalam negeri serta mendorong pemulihan ekonomi melalui berbagai kebijakan Pemerintah, salah satunya dukungan Pemerintah terhadap keberlangsungan usaha Industri di dalam negeri.
Saat ini banyak industri yang terpuruk akibat pandemic, namun sebelum masa pandemi, tidak sedikit produk lokal yang terdampak akibat persaingan yang tidak sehat dengan produk impor. Salah satunya adalah produk kosmetik, dimana industri dalam negeri sebetulnya sudah mampu memproduksi kosmetik yang aman dan berkualitas. Saat ini adalah waktu yang tepat bagi Pemerintah RI untuk memperketat pengawasan masuknya produk kosmetik impor guna melindungi keberlangsungan industri kosmetik di dalam negeri dengan berbagai instrumen ataupun kebijakan persyaratan impor. Salah satu intrumen yang dapat digunakan adalah kewajiban verifikasi produk kosmetik di Negara muat sebelum importasi kosmetik dilakukan guna menghindari menjamurnya produk kosmetik aspal (asli tapi palsu) yang saat ini diduga banyak beredar di tanah air.Sesekali Bentrok soal Batas Laut Cina Selatan, Tiongkok-Vietnam Menandatangani 14 Kesepakatan
Kemudian pada Juli s/d Pertengahan Agutus 2020, kembali dilakukan pembahasan revisi Permendag Produk Tertentu sebagai salah satu tindak lanjut stimulus ekonomi non fiskal dibidang perdagangan melalui pengendalian impor produk jadi. Dan pada Agustus 2020, Kemenperin mengajukan pembatasan impor terhadap barang-barang tertentu kepada Kemendag, dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.
"Salah satu yang diusulkan untuk dibatasi impornya adalah produk kosmetik. Tentunya dalam hal usulan ini, GINSI mendukung dan mengapresiasi, upaya pemerintah untuk membatasi importasi produk kosmetik," ujar Taufan. Dia mengungkapkan, berdasarkan catatan GINSI bahwa adanya kebijakan pemberlakuan ketentuan impor kosmetik pada tahun 2013, telah efektif menekan laju impor produk tersebut. Namun, kata Taufan, dengan adanya deregulasi kebijakan impor pada tahun 2015 justru menyebabkan importasi produk kosmetik kembali meningkat yang mencapai puncaknya pada tahun 2018 dan 2019 hingga mencapai 28%. "Oleh karena itu GINSI memandang perlunya kebijakan pengendalian terhadap importasi produk kosmetik untuk melindungi industri kosmetik dalam negeri serta perlindungan konsumen," tuturnya. Taufan mengatakan, nilai impor produk kosmetik pada tahun 2013 baru mencapai USD 576.108.083, namun pada 2018 telah mencapai USD 741.320.858 dan pada tahun 2019 mencapai USD 737.337.267. Nilai impor kosmetik yang sangat besar tersebut, menunjukan permintaan pasar untuk produk kosmetik yang sangat besar. Hal ini tentu menjadi peluang investasi di Industri Kosmetik, yang dapat didorong oleh Pemerintah sebagai salah satu kebijakan substitusi impor. GINSI sebagai mitra strategis Pemerintah, juga memiliki tanggungjawab terhadap pertumbuhan industri di dalam negeri. Oleh karena itu, GINSI sangat mendukung target substitusi impor yang dicanangkan oleh Kementerian Industri. Masih banyak produk asal impor yang dapat didorong menjadi target dalam substitusi impor, diantaranya ada produk plastik hilir (impor plastik berupa wadah, plastik lembaran, dan lain-lain), alat-alat kelistrikan serta peralatan kesehatan. "Program substitusi impor ini tentu saja dapat dimulai dengan kebijakan pengendalian terhadap produk-produk jadi asal impor," ucap Taufan. KEYWORD :GINSI kosmetik impor