Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani dalam acara Dialektika Demokrasi yang dilaksakan di Media Center DPR RI. (Foto: Dok. Jurnas)
Jakarta, Jurnas.com - Pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP harus dipagari agar tidak menjadi pasal karet. Hal itu penting agar ada pembeda antara penghinaan dan kritik.
Demikian diutarakan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/6).
"PPP menghendaki ada penjelasan pasal yang memagari apa yang dimaksud penghinaan untuk membedakannya dengan kritik terhadap pemerintah atau presiden," terangnya.
Arsul katakan, saat pembahasan RUU KUHP mengenai pasal penghinaan presiden terjadi perdebatan cukup panjang. Sebab ada putusan Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal penghinaan presiden di KUHP sekarang.
"Pada saat pembahasan pasal RKUHP terkait penghinaan Presiden memang terjadi perdebatan cukup panjang, karena adanya Putusan MK yang membatalkan pasal-pasal penghinaan Presiden di KUHP sekarang," jelas Arsul.
Sehingga, DPR mengubah pasal tersebut menjadi delik aduan supaya tetap ada dalam RUU KUHP. DPR dan pemerintah juga sepakat agar pasal tersebut tidak menabrak putusan MK.
“Ini yang Pemerintah & DPR yakini bahwa dengan mengubah sifat delik tersebut maka tidak menabrak putusan MK dimaksud. PPP bisa menerima jalan tengah dengan mengubah sifat delik menjadi aduan tersebut," pungkasnya.
Serangan ke Kursk Hancurkan Tiga Jembatan, Presiden Ukraina Sebut Pembalasan Rusia hanya Gertakan
Warta DPR Komisi III DPR Arsul Sani RKUHP Pasal Karet Penghinaan Presiden PPP