Bambang Brodjonegoro, Mantan Menristekdikti Kepala BRIN saat berbicara dalam Alinea Forum, Selasa (3/8/2021)
Jakarta, Jurnas.com - Integrasi kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) harus dilakukan secara hati-hati karena penuh dengan risiko.
Mantan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro mengatakan, transformasi memerlukan waktu yang lama, dan sebaiknya dipilih yang benar-benar tidak menimbulkan kegaduhan.
"Saya ingin transisi tak heboh. Harus benar-benar transisi yang mulus. Sebab, organisasi penelitian itu tak birokratis," tandas Bambang dalam serial diskusi Alinea Forum bertema ‘Organisasi Riset dan Inovasi Bagi Kemajuan Iptek’, Selasa (3/8/2021).
Saat masih menjabat Menristek Kepala BRIN, Bambang mengisahkan rencana transformasi kelembagaan, tapi tidak kesampaian karena Kemenristek dibubarkan.
Adapun urusan ristek digabungkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dan lahir Peraturan Presiden 33/2021 dibentuk BRIN sebagai lembaga otonom di bawah presiden.
Bambang yang punya pengalaman Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas menyarankan, sebaiknya BRIN bertugas dalam koordinasi kebijakan dan perencanaan.
Tiket Tur Short `n` Sweet Sold Out, Sabrina Carpenter Dapat Ucapan Selamat dari Taylor Swift
Sebab koordinasi dan sinergi harus diperkuat antara pelaku riset dan inovasi, termasuk lembaga penelitian, swasta, perorangan dan pendidikan tinggi. Sehingga tidak ada redudansi dan duplikasi.
Bambang juga mengingatkan soal anggaran riset yang terbatas. Indonesia tidak punya kemewahan anggaran riset seperti negara lain.
"Resources riset dan inovasi juga terserap di berbagai tempat. Ada juga perguruan tinggi. Ini semua perlu koordinasi," tukasnya.
Ia mencontohkan riset varietas padi oleh badan litbang Kementerian Pertanian, UGM, IPB dan yang lain. Diantara semua itu pedanya hanya tipis.
"Maka dengan koordinasi yang simpel seperti itu anggaran bisa dikelola optimal. Harusnya BRIN memastikan efisiensi. Karena organisasi penelitian dan birokrasi tak bisa klop," urainya.
Soal transformasi kelembagaan, Bambang menyarankan agar lembaga iptek seperti LIPI, BPPT, LAPAN, dan BATAN tetap ada. Hanya saja ia menyarankan lembaga iptek ini mesti diubah agar tidak birokratis.
"Cara bekerjanya seperti perguruan tinggi yang tidak mengenal atasan-bawahan. Tapi bersifat kolegial. Ia yakin langkah seperti ini akan membuat gerak BPPT dan yang lain bakal lebih gesit," papar Bambang.
Hal ini merespons rencana BRIN mengintegrasikan lembaga iptek, baik lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) maupun badan litbang di kementerian/lembaga.
Dalam hal ini BRIN memberi tiga opsi, yakni: Bedol desa ke BRIN; transisi program ke BRIN; dan transisi parsial. Integrasi ini ditarget selesai awal 2022.
Kepala Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian 2010-2015 Haryono mengamini jika Litbang Kenterian bergabung ke BRIN, namun bergabungnya paling akhir.
Alasannya, kebijakan Kementan perlu pengawalan dan integrasi harus mengacu pada kaidah transformasi sistem. "Tidak mendadak, tetapi bertahap dan memiliki transisi," jelas Haryono.
Haryono menjelaskan, ada dua pilihan integrasi, yakni soft dan hard integration. Baginya hard integration ini bisa kontraproduktif sehingga cara soft dan hard dua-suanya harus dipakai.
"Tidak ada transformasi yang dilakukan secara mendadak, pasti bertahap," kata dia.
Pembicara berikutnya Wakil Rektor Bidang Inovasi, Bisnis, dan Kewirusahaan IPB University Profesor Erika Budiarti Laconi, berharap BRIN dapat mensinergikan hasil karya dari lembaga iptek.
Baik dari perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan (litbang), lembaga pengkajian dan penerapan (jirap), badan usaha, maupun lembaga dan bagian penunjang.
Jika merujuk UU 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek, Erika menilai BRIN harus mampu mengoptimalkan anggaran ke depan dengan skema penta helix. Dengan begitu inovasi bukan hanya berupa karya tulis, juga produk yang bisa membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
“Selama ini semua lembaga jirap dan litbang kementerian duplikasi dalam riset. Risetnya juga belum tuntas. Jadi, harus kolaborasi dan sinergi. Artinya harus punya payung riset,” ucap Erika.
Berkaca dari Bappenas, lanjit Erika, BRIN seharusnya menyusun program prioritas riset nasional dengan topik terseleksi. Sebagai Kepala Lembaga Kawasan Sains dan Teknologi (LKST) IPB, Erika menyarankan BRIN mempertimbangkan segi penerimaan dan kesukaan masyarakat, serta daya edar dalam seleksi uji kualitas inovasi.
Pasalnya, inovasi tertentu harus pula selaras dengan regulasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Di sisi lain, BRIN harus membuat sistem informasi untuk mendata berbagai riset yang telah dikerjakan, hingga jenis peralatan dan lokasi. Sehingga mitra industri yang berkolaborasi tidak perlu lagi mengembangkan ekosistem riset dan berbagai alatnya.
“(Perlu) ada share resources. Tidak seluruh lembaga punya alat lengkap. Sehingga, tak perlu lagi kirim sampel ke luar negeri. Padahal di dalam negeri kita punya. Alat yang kita punya tadi, karena tidak pernah dipakai itu bisa rusak,” tutur Erika.
BRIN juga perlu memiliki mitra industri untuk menampung berbagai inovasi yang dihasilkan. LKST misalnya, kata dia, hasil inovasi yang potensial bakal diteruskan ke holding company (perusahaan induk) IPB yang memiliki 13 anak perusahaan. Selain itu, inovasi dari LKST juga bakal ditampung mitra industri lain, baik di dalam maupun luar negeri.
“Tentunya ini perjuangan berat karena berbagai paten itu (inovasi yang telah memiliki hak kekayaan intelektual) tidak serta merta industri menerima dan langsung diproduksi. Beberapa kali harus kita lakukan negoisasi dengan industri. Inilah yang sering kami sampaikan bahwa ada lembah kematian dari riset-riset kita kalau kita tidak terus berjuang,” ucapnya.
Senada, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan, BRIN harus dapat mengoordinasikan semua hasil riset dan inovasi agar bisa bersaing dengan negara lain. Makanya, kata dia, setiap lembaga iptek harus bisa bermain dalam orkestrasi sesuai fungsi dan tugas masing-masing.
Kelembagaan iptek dan BRIN, kata Hammam, berada dalam satu kesatuan sistem nasional iptek. Keberadaan kelembagaan iptek yang terdiri dari 5 unsur (perguruan tinggi, lembaga litbang, jirap, badan usaha, dan lembaga penunjang) seperti diatur dalam Pasal 42 UU No. 11/2019 harus ada dalam sistem nasional iptek.
"BRIN berperan mengarahkan dan menyinergikan. BRIN menyusun rencana induk pemajuan iptek, sinergi aspek kebijakan, perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya iptek," kata dia.
UU Sisnas Iptek, jelas Hammam, pada dasarnya tidak menimbulkan beban keuangan negara yang baru. Karena UU ini tidak membentuk lembaga baru. Ia meyakini, keberadaan UU ini justru akan mengoptimalkan fungsi dari lembaga yang telah ada.
Sementara anggota Komisi X DPR RI dan Wakil Ketua Pansus RUU Sisnas Iptek 2014-2019 Marlinda Irwanti menjelaskan, sebenarnya UU Sisnas Iptek didesain untuk memaksimalkan peran iptek dalam pembangunan nasional.
"Dalam UU Nomor 18 Tahun 2002 itu dinyatakan bahwa iptek hanya untuk kemajuan Iptek, kemudian terjadi perubahan paradigma menjadi UU No.11 Tahun 2019 bahwa Iptek untuk pembangunan nasional," jelas Marlinda.
Presiden Joko Widodo sendiri, kata dia, dalam sejumlah pidatonya menyatakan iptek perlu dimanfaatkan bagi pembangunan nasional dan inovasi Iptek dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Perbedaan paling signifikan dari kedua UU tersebut, jelas Marlinda, terdapat pada kata kunci "inovasi".
KEYWORD :Bambang Brodjonegoro BRIN Alinea Forum Iptek UU Sisnas Iptek