Sejarawan Bonnie Triyana
Jakarta, Jurnas.com - Pengalaman hidup salah satu proklamator RI, Mohammad Hatta yang gandrung membaca buku perlu direnungkan generasi milenial Indonesia saat ini.
Jangan menyampaikan pernyataan dan komentar di ruang publik sebelum terlebih dahulu mendalami suatu isu dengan membaca buku atau literasi tentang isu tersebut.
Hal ini disampaikan Sejarawan Bonnie Triyana, bahwa Bung Hatta adalah seorang negarawan yang rela dipenjara oleh penjajah Belanda saat itu, apabila masih diperbolehkan membaca buku.
“Hatta pernah mengatakan, ‘Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Dengan buku aku bisa bebas’,” kata Bonnie Triyana dalam Talk Show “Pekan Bung Hatta” yang digelar BKNP PDI Perjuangan, Sabtu (14/8/2021).
Hatta memperlakukan buku sebagai jendela dan satu celah untuk bergerak bebas mempelajari apapun di dunia ini. Saat pergi sekolah ke Belanda, Hatta banyak membaca buku dan menuangkan gagasannya dalam berbagai tulisan.
“Kalau seseorang piawai dalam menulis, dipastikan dia banyak membaca. Kita bisa pastikan itu dari tulisan-tulisan Hatta di media,” terang Bonnie.
Hatta bukan seorang pembaca yang dogmatik, tapi dia membaca dengan kritis. Tidak semua yang dia baca ditelan mentah-mentah atau dia buang. Dari bacaannya itu, Hatta memetik beberapa hal yang berguna untuk bangsa.
PDIP Ingatkan Sejarah Pemikiran Bung Hatta
Kisah lain betapa Hatta sangat mencintai buku adalah saat Belanda hendak mengasingkannya ke Digul, Papua Selatan. Saat hendak diasingkan pada tahun 1935, Hatta meminta kepada pemerintah kolonial untuk membawa serta buku-bukunya yang jumlah totalnya saat itu sebanyak 16 peti.
“Bayangkan jika satu peti itu isinya 100. Berarti ada 1600 buku dibawa ke Digul oleh Hatta. Koleksi buku-buku Hatta saat ini masih tersusun rapi dan dapat dilihat di rumahnya Jl. Diponegoro 57, Jakarta,” kata Bonnie.
Kecintaan Hatta pada buku, bukan hanya di lingkup akademis, tetapi juga dalam aspek-aspek lain dalam hidupnya. Bahkan saat Hatta menikah, mas kawin yang dia berikan kepada Bu Rahmi, calon istrinya kala itu, adalah karya tulisnya berjudul ‘Alam Pikiran Yunani’.
Generasi Bung Hatta atau Bung Karno saat itu sangat menyadari bahwa tidak mungkin mereka memahami keadaan dunia jika bukan karena buku. Membaca telah menjadi jendela mereka kepada alam pemikiran baru sehingga mereka mengerti keadaan Indonesia.
“Dengan membaca, akhirnya mereka bisa memahami apa bedanya dijajah atau tidak dijajah,” papar Bonnie
Menurut Bonnie, saat dahulu mereka membaca buku, mereka mengelaborasi bacaan itu. Kritik pemikiran ini kemudian diwujudkan dalam gerakan-gerakan pembebasan yang konkret untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
“Saat ini, kebanyakan kita malah tertidur saat sedang membaca,” ucap Bonnie.
Kisah ini menjadi kontekstual bila menerawang kondisi anak muda saat ini yang masih minim membaca dan kadang terburu-buru dalam berkomentar. Bonnie mengakui bahwa tentu setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing, namun tentu harus ada standar yang bisa diusahakan.
“Saat ini kita memang tidak bisa menganjurkan orang menjadi seperti Bung Hatta. Namun paling tidak, mari biasakan membaca dan mendalami satu persoalan sebelum kita mengatakan sesuatu,” pungkas Bonnie.
Rangkaian Talk Show "Pekan Bung Hatta" merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Badan Kebudayaan Nasional Pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan dalam mengenalkan sepak terjang, kisah dan inspirasi Bung Hatta kepada masyarakat luas.
KEYWORD :BKNP PDI Perjuangan Bung Hatta membaca buku Bonnie Triyana