Jakarta - Diretktur Imparsial Al Araf mengatakan politik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) tengah mewarnai situasi nasional menjelang Pilkada DKI 2017. Akibatnya, terjadi peningkatan eskalasi politik nasional bahkan berkembang pada potensi ketegangan yang semakin melebar.
Al Araf mengatakan politik SARA mengandung sisi negatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Bahkan, kata dia, politik yang berbasis primordialisme tersebut bisa menjadi sumbu yang merusak tatanan sendi-sendi berbangsa dan bernegara.
"Dalam konteks keamanan, sepantasnya kedepan tidak perlu dipanas-panasi dengan menjadikan isu SARA sebagai dinamika pertarungan politik. Indonesia harus belajar, pertarungan politik SARA bisa berujung pada konflik kekerasan yang berkepanjangan," ujar Al Araf di dalam diskusi "Membaca Tanda Sejarah, Menjaga Indonesia Bhineka," di Cikini, Jakarta, Rabu (16/11/2016).
Al Araf menyampaikan masyarakat Indonesia perlu merenungkan peristiwa politik yang mewarnai perjalanan kenegaran di Rwanda dan Yugoslavia. Menurutnya, dua negara tersebut harus menerima kehancuran negaranya akibat konflik yang awalnya didasari dari politik bernuansa SARA.
Ia menyatakan cukup mengkhawatirkan apabila isu SARA masih muncul ke permukaan politik di Indonesia. Menurutnya, Indonesia bisa mungkin mengalami hal sama dengan yang terjadi Rwanda dan Yugoslavia.
"Kita lihat bagaimana pertarunga politik keuasaan di Rwanda, akibat mengunakan politisasi etnis menghasilkan konflik dan pembantaian. Pertarungan politik kekuasan di Yoguslavia membuat negara di Yoguslavia bubar. Politisasi SARA harusnya dihindari dalam pertarungan politik. Seharusnya mengunakan gagasan. Mengahapus ruang politisasi SARA," paparnya.
Bahaya Politik SARA Direktur Imparsial Al Araf