Tren pengeluaran rumah tangga termiskin di Indonesia lebih mengutamakan rokok daripada kebutuhan pokok lain (Foto: Thinkstock)
Jakarta, Jurnas.com - Survei yang dilakukan para peneliti dari Yayasan Lentera Anak melaporkan, iklan rokok yang masif menjadi salah satu pemicu peningkatan jumlah perokok anak di tanah air.
Survei tersebut dilakukan selama periode tanggal 3 – 24 Mei 2021 yang melibatkan 180 anak, dengan kriteria anak laki-laki atau perempuan, usia 10-18 tahun, dan anak yang merokok. Survei didisain sebagai studi kuantitatif dan dilakukan di kota Jakarta, Solo, Jember, Padang, dan Mataram.
"Tujuan survei untuk mengetahui dua hal sekaligus, yaitu pertama, bagaimana keterpaparan iklan rokok elektronik pada perokok anak, dan kedua, hubungan antara iklan rokok konvensional terhadap preferensi mereka memilih rokok," kata Nahla Jovial Nisa, salah satu peneliti Lentera Anak.
Hasil survei menunjukkan, dari sisi keterpaparan anak terhadap iklan rokok elektronik, ada lebih dari separuh responden (60,6% dari 180 anak) mengaku terpapar iklan rokok elektronik. Dan dari 60,6% responden yang terpapar iklan rokok elektronik tersebut, mayoritas mereka (88,1%) melihat iklannya di media sosial. Hanya 2,8% responden terpapar iklan rokok elektronik di televisi, dan hanya 3,7% anak melihat iklan rokok di media online.
"Akibat paparan iklan rokok elektronik tersebut, sebanyak 78,3% responden mengaku penasaran, dan ada 40% dari mereka ingin beralih dari rokok konvensional ke rokok elektronik. Sedangkan dari sisi hubungan antara iklan rokok konvensional terhadap preferensi memilih rokok, hasil survei menunjukkan hampir 100% responden (99,4%) pernah melihat iklan rokok," ujarnya.
Adapun iklan rokok yang paling banyak dilihat responden adalah Sampoerna (40%) diikuti oleh iklan rokok Gudang Garam (23%), Djarum (26%) dan Bentoel (11%). Setelah itu hasil statistik menunjukan Ada hubungan antara iklan rokok yang diingat dengan merk rokok yang dikonsumsi
Nahla mengatakan bahwa media iklan rokok elektronik yang diakses oleh responden dalam penelitian itu paling banyak melalui iklan rokok di media sosial.
"Anak-anak paling banyak melihat iklan rokok elektrik di media sosial sebesar 88,1 persen. Sedangkan untuk yang lainnya melihat di berita online yaiitu sebesar 3,7 persen," kata Nahla.
Data GYTS juga menunjukkan hampir 7 dari 10 pelajar melihat iklan atau promosi rokok di televisi atau tempat penjualan dalam 30 hari terakhir, dan sepertiga pelajar merasa pernah melihat iklan di internet atau media sosial.
Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan 14 universitas dan organisasi masyarakat lokal menunjukan, meski sekolah menerapkan KTR, siswa masih banyak terpapar iklan rokok dalam berbagai bentuk.
Sebanyak 74,2 persen remaja terpapar iklan rokok melalui banner dan papan reklame berbayar, 46,6 persen terpapar iklan dalam acara olah raga dan 39 terpapar dari acara musik. Sekitar 14,7 persen bahkan pernah diberikan sampel gratis rokok.
Nahla menambahkan, hasil survei menunjukkan persentase terbanyak perokok anak adalah rentang usai 15 tahun hingga 18 tahun dengan besaran persentase sebesar 89,4%. Sementara itu, kegiatan anak sehari-hari yaitu 90 persen bersekolah dan 10 persen tidak sekolah.
"Survei ini menunjukkan dari 180 anak yang merupakan perokok konvensional, 83 orang diantaranya atau 46,1% adalah perokok anak dual user yaitu merokok konvensional dan merokok elektrik," tambahnya.
Ia juga mengatakan bahwa anak-anak memiliki pengetahuan tentang rokok elektrik, bahkan 73,5 persen anak mampu menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan rokok elektrik.
"Anak-anak mengetahui merek rokok elektrik. Tiga merek rokok elektronik yang paling diketahui anak adalah Vod sebanyak 34 persen, Vgood sebanyak 25 persen dan Vinci sebanyak 10 persen," tuturnya.
Menurut Nahla, survei ini merekomendasikan adanya kebijakan pelarangan iklan rokok secara total karena sudah terbukti ada hubungan antara iklan rokok dengan pemilihan anak terhadap merek rokok.
"Perlu kebijakan kuat untuk mengatur rokok elektronik agar anak tidak mendapatkan beban ganda dari rokok; serta perlunya kebijakan komprehensif untuk melarang iklan rokok elektronik di sosial media," tuturnya.
Selain iklan rokok, pemicu peningkatan jumlah perokok anak juga disebabkan oleh lingkungan keluarga khususnya dari orang tua. Hasil data Riskedas 2013 menyebutkan Ibu yang merokok setiap hari dapat mendorong anak 1,98 kali merokok setiap hari. Sedangkan Ayah yang merokok setiap hari di rumah akan memicu 2,5 kali anak merokok setiap hari.
Sekitar 96 juta orang Indonesia merupakan perokok pasif dan 43 persen di antaranya adalah anak-anak di bawah 15 tahun. Kementerian Kesehatan pada 2018 menyebutkan Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi konsumsi rokok setelah China dan India dengan jumlah perokok mencapai 85 juta orang.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan jumlah perokok muda, di bawah 18 tahun, mencapai 9,1 persen atau meningkat dibandingkan data 2013 sebanyak 7,2 persen.
KEYWORD :Perokok Anak Iklan Rokok Hasil Survei